to English

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAINOMOR P-26/BC/2010

TENTANG
BENTUK, WARNA, UKURAN SEGEL DAN TANDA PENGAMAN BEA DAN CUKAI DAN TATA CARA PENYEGELAN

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Lampiran

Menimbang:

a. bahwa untuk pengawasan yang lebih baik dalam rangka pengamanan hak-hak negara dan dipatuhinya peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan dan Cukai perlu mengatur mengenai bentuk, warna, ukuran segel dan tanda pengaman Bea dan Cukai dan tata cara penyegelan;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai tentang Bentuk, Warna, Ukuran Segel dan Tanda Pengaman Bea dan Cukai dan Tata Cara Penyegelan;

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76);

4. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 42) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 129);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1996 tentang Penindakan di Bidang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3626);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1996 tentang Penyidikan di Bidang Kepabeanan dan Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 36, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 3626) dan semua peraturan pelaksanaannya;

7. Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2009 tentang Tata Cara Penindakan di Bidang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5040);

8. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 30/KMK.05/1997 tentang Pelaksanaan Penindakan di Bidang Kepabeanan;

9. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 238/PMK.04/2009 tentang Tata Cara Penghentian, Pemeriksaan, Penegahan, Penyegelan, Tindakan Berupa Tidak Melayani Pemesanan Pita Cukai Atau Tanda Pelunasan Cukai Lainnya, Dan Bentuk Surat Perintah Penindakan;

10. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 232/PMK.04/2009 tentang Kawasan Pelayanan Pabean Terpadu;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG BENTUK, WARNA, UKURAN SEGEL DAN TANDA PENGAMAN BEA DAN CUKAI DAN TATA CARA PENYEGELAN.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

1. Penyegelan adalah tindakan untuk mengunci, menyegel, dan/atau melekatkan tanda pengaman yang diperlukan guna mengamankan hak-hak negara.

2. Surat Perintah adalah surat perintah atau surat tugas yang dikeluarkan oleh Pejabat Bea dan Cukai yang berwenang dalam rangka penindakan, penyidikan, audit, atau penyitaan.

3. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

4. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai.

Pasal 2

(1) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penyegelan di bidang Kepabeanan terhadap:

(2) Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penyegelan di bidang Cukai terhadap:

(3) Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dalam rangka:

(4) Segel atau tanda pengaman dalam rangka pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b yang digunakan oleh instansi pabean di negara lain atau pihak lain dapat diterima sebagai pengganti tanda pengaman setelah mendapat penetapan dari Menteri Keuangan.

(5) Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihentikan dalam hal:

(6) Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihentikan dalam hal:

Pasal 3

(1) Segel atau Tanda Pengaman terbuat dari kertas, plastik, logam, lak dan/atau bahan lainnya dengan bentuk tertentu berupa lembaran, pita, kunci, kancing dan/atau bentuk lainnya yang dilengkapi dengan piranti elektronik atau tidak.

(2) Segel atau Tanda Pengaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

(3) Stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf f adalah alat yang digunakan untuk membubuhi tanda atau lambang Bea dan Cukai dan nomor pengawasan pada lak segel dengan bentuk dan ukuran tertentu.

Pasal 4

(1) Segel atau Tanda Pengaman Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf g paling kurang memenuhi syarat:

(2) Berdasarkan pada tingkat risiko pengangkutan, persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditambahkan dengan syarat:

(3) Penilaian risiko pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditentukan oleh faktor:

Pasal 5

(1) Penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a dilakukan oleh Pejabat Bea dan Cukai berdasarkan Surat Perintah.

(2) Penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b dilakukan oleh:

Pasal 6

(1) Surat Perintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) tidak diperlukan pada penyegelan dalam keadaan perlu dan mendesak.

(2) Penyegelan dalam keadaan perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penyegelan yang harus dilakukan seketika dan apabila tidak dilakukan seketika atau harus menunggu Surat Perintah, penegakan hukum tidak dapat lagi dilakukan.

(3) Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penyegelan dalam keadaan perlu dan mendesak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) segera melaporkan kepada pejabat yang berwenang menerbitkan Surat Perintah dalam waktu 1 x 24 jam terhitung sejak penyegelan dilakukan.

(4) Dalam hal pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak menerbitkan Surat Perintah dalam waktu 1 x 24 jam sejak menerima laporan, Pejabat Bea dan Cukai yang melakukan penyegelan segera menghentikan penyegelan.

Pasal 7

(1) Segel atau tanda pengaman Bea dan Cukai yang dilekatkan/dipasang pada barang, sarana pengangkut, peti kemas/kemasan, dan bangunan atau tempat lain tidak boleh dibuka, dilepas, atau dirusak tanpa ijin Pejabat Bea dan Cukai.

(2) Pemilik dan/atau yang menguasai barang, sarana pengangkut, peti kemas/kemasan dan bangunan atau tempat lain yang disegel oleh Pejabat Bea dan Cukai, wajib menjaga agar semua segel Bea dan Cukai tidak rusak atau hilang baik secara fisik maupun fungsinya.

(3) Pejabat Bea dan Cukai yang menemukan segel atau tanda pengaman Bea dan Cukai yang terbuka, terlepas, rusak, atau hilang baik secara fisik maupun fungsinya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membuat Laporan Kejadian untuk penyelidikan/penyidikan lebih lanjut.

Pasal 8

(1) Dalam hal keadaan bahaya yang dapat menimbulkan risiko rusaknya barang, sarana pengangkut, peti kemas/kemasan dan bangunan atau tempat lain yang disegel dan/atau hilangnya hak-hak negara, pemilik dan/atau yang menguasai barang, sarana pengangkut, peti kemas/kemasan, dan bangunan atau tempat lain wajib pada kesempatan pertama memberitahukan kepada Pejabat Bea dan Cukai yang mengawasi.

(2) Apabila yang bersangkutan tidak melakukan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dianggap merusak atau menghilangkan Segel atau Tanda Pengaman Bea dan Cukai.

Pasal 9

(1) Terhadap penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf a wajib dibuatkan Berita Acara Penyegelan dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(2) Terhadap penyegelan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf b wajib dibuatkan pencatatan.

(3) Berita Acara Penyegelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pejabat Bea dan Cukai dan pemilik atau pihak lain atas nama pemilik dan diberi nomor urut dari Buku Berita Acara Penyegelan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran VIII yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(4) Dalam hal pemilik atau pihak lain atas nama pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ada atau tidak bersedia menandatangani Berita Acara Penyegelan, hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Penyegelan.

(5) Pejabat Bea dan Cukai membubuhkan tanda tangan pada setiap pelekatan atau pemasangan Segel atau Tanda Pengaman Kertas.

Pasal 10

(1) Pembukaan segel yang merupakan tindak lanjut dari penyegelan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) huruf a wajib dibuatkan Berita Acara Pembukaan Segel dengan menggunakan format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran IX yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(2) Pelepasan tanda pengaman yang merupakan tindak lanjut dari penyegelan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) huruf b wajib dibuatkan pencatatan.

(3) Berita Acara Pembukaan Segel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh Pejabat Bea dan Cukai dan pemilik atau pihak lain atas nama pemilik dan diberi nomor urut dari Buku Berita Acara Pembukaan Segel sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran X yang tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(4) Dalam hal pemilik atau pihak lain atas nama pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak ada atau tidak bersedia menandatangani Berita Acara Pembukaan Segel, hal tersebut dicatat dalam Berita Acara Pembukaan Segel.

Pasal 11

(1) Nomor Pengawasan pada Segel atau Tanda Pengaman Kertas dan Segel atau Tanda Pengaman Pita merupakan nomor urut dari Buku Berita Acara Penyegelan/catatan.

(2) Nomor Pengawasan pada Segel atau Tanda Pengaman Timah dan Segel atau Tanda Pengaman Lak merupakan nomor tetap yang tercatat pada Tang Segel dan Stempel.

(3) Nomor Pengawasan pada Segel atau Tanda Pengaman Kancing dan Segel atau Tanda Pengaman Kunci merupakan nomor urut pembuatan.

(4) Nomor Pengawasan pada Segel atau Tanda Pengaman Elektronik merupakan nomor elektronik yang dihasilkan oleh sistem komputerisasi.

Pasal 12

Pengadaan Segel atau Tanda Pengaman Bea dan Cukai dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Pasal 13

Dalam hal segel dan/atau tanda pengaman sebagaimana diatur dalam peraturan Direktur Jenderal ini belum tersedia, maka segel dan/atau tanda pengaman yang tersedia berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-08/BC/2000 tentang Segel, Tanda Pengaman Bea dan Cukai, Tatacara Penyegelan dan Tatacara Pelekatan Tanda Pengaman Bea dan Cukai sebagaimana diubah dengan Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor: KEP-54/BC/2001 dinyatakan tetap berlaku.

Pasal 14

Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku:

Pasal 15

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 2010
DIREKTUR JENDERAL,
ttd,
THOMAS SUGIJATA
NIP 19510621 197903 1 001