to English

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN
NOMOR 47/M-DAG/PER/7/2012

TENTANG
KETENTUAN EKSPOR PREKURSOR NON FARMASI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran

Menimbang:

a. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (4) dan Pasal 12 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor;

b. bahwa penggunaan Prekursor selain bermanfaat di bidang Farmasi dan non Farmasi juga dapat disalahgunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong pembuatan Narkotika dan Psikotropika secara gelap;

c. bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta dalam rangka mendukung upaya memberantas peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika internasional, perlu mengatur kembali ketentuan ekspor Prekursor Non Farmasi;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagairnana dimaksud dalam huruf a, huruf b dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan;

Mengingat:

1. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 (Staatsblad Tahun 1938 Nomor 86);

2. Ordonnantie Bahan-Bahan Kimia Berbahaya (Staatsblad Tahun 1949 Nomor 377;

3. Undang Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penindakan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 801), sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 1964 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1964 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2692);

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214);

5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);

6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);

7. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

8. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention On Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3657);

9. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);

10. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic In Narcotic Drugs And Psychotropic Substances, 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3673);

11. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention On The Prohibition Of The Development, Production, Stockpiling And Use Of Chemical Weapons And On Their Destruction (Konvensi Tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata Kimia Serta Tentang Pemusnahannya), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 171, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3786);

12. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);

13. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

14. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

15. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062);

16. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

17. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan Lalu Lintas Devisa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3210) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1985 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3291);

18. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4153);

19. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

20. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5126);

21. Keputusan Presiden Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan Dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri;

22. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1998 tentang Pengesahan International Convention on the Safety of Life at Sea 1974;

23. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2008 tentang Penggunaan Sistem Elektronik Dalam Kerangka Indonesia National Single Window;

24. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011;

25. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Ke menterian Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;

26. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011;

27. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 917/MENKES/SK/VIII/1997 tentang Jenis Prekursor Psikotropika;

28. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 890/MENKES/SK/VIII/1998 tentang Jenis Prekursor Narkotika;

29. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 103/PMK.04/2006 tentang Penggunaan Pemberitahuan Pabean Single Administrative Document di Pulau Batam, Bintan dan Karimun;

30. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.04/2007 tentang Ketentuan Kepabeanan Di Bidang Ekspor;

31. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 39/M-DAG/PER/12/2011;

32. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/7/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan;

33. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 13/M-DAG/PER/3/2012 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN EKSPOR PREKURSOR NON FARMASI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika.

2. Eksportir Terdaftar Prekursor Non Farmasi, selanjutnya disebut ET-Prekursor Non Farmasi, adalah perusahaan yang telah mendapat pengakuan dari Menteri untuk melakukan ekspor Prekursor Non Farmasi.

3. Rekomendasi adalah surat yang diterbitkan oleh instansi/unit terkait yang memuat penjelasan secara teknis dan bukan merupakan izin/persetujuan ekspor.

4. Pre Export Notification selanjutnya disebut PEN adalah pemberitahuan persetujuan ekspor Prekursor yang di sampaikan kepada instansi/badan/lembaga yang berwenang di negara tujuan ekspor.

5. Surveyor adalah perusahaan survey yang mendapat otorisasi dari dan ditetapkan oleh Menteri untuk melakukan verifikasi atau penelusuran teknis atas ekspor Prekursor Non Farmasi.

6. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

7. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.

BAB II
RUANG LINGKUP

Pasal 2

Jenis Prekursor Non Farmasi yang dapat diekspor sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

BAB III
TATA CARA DAN PERSYARATAN EKSPOR

Bagian Kesatu
ET-Prekursor

Pasal 3

(1) Jenis Prekursor Non Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya dapat diekspor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai ET-.Prekursor Non Farmasi dari Menteri.

(2) Menteri melimpahkan penerbitan pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal.

Pasal 4

(1) Untuk mendapatkan pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, perusahaan yang bersangkutan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen:

(2) Berdasarkan permohonan tertulis perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.

(3) Pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.

(4) Bentuk pengakuan sebagai ET Prekursor Non Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap dan benar, Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan menyampaikan penolakan permohonan kepada perusahaan yang bersangkutan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima disertai dengan alasan penolakan.

Bagian Kedua
Persetujuan Ekspor

Pasal 5

(1) Setiap pelaksanaan ekspor Prekursor Non Farmasi, ET-Prekursor Non Farmasi harus terlebih dahulu mendapat persetujuan ekspor Prekursor Non Farmasi dari Direktur Jenderal setelah mempertimbangkan rekomendasi dari Kepala Badan Nasional Narkotika (Kepala BNN) dan Kepala Badan Reserse dan Kniminal Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kabareskrim POLRI).

(2) Untuk memperoleh persetujuan ekspor Prekursor Non Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ET-Prekursor Non Farmasi harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen:

(3) Persetujuan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari sejak tanggal persetujuan ekspor diterbitkan dan tidak dapat diperpanjang.

Bagian Ketiga
Pre Export Notification

Pasal 6

(1) ET-Prekursor Non Farmasi harus memberitahukan rencana pengapalan kepada Kepala BNN yang mencakup jenis dan jumlah barang, pelabuhan muat, tanggal keberangkatan kapal, serta pelabuhan dan negara tujuan ekspor.

(2) Atas pemberitahuan rencana pengapalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala BNN harus menyampaikan Pre Export Notification (PEN) kepada Instansi/Badan/Lembaga yang berwenang di negara tujuan ekspor.

(3) Atas penyampaian PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Instansi/Badan/Lembaga yang berwenang di negara tujuan ekspor menyampaikan jawaban atas rencana ekspor dimaksud paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak tanggal penyampaian PEN.

(4) Apabila dalam waktu 5 (lima) hari kerja Instansi/Badan/Lembaga yang berwenang di negara tujuan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memberikan jawaban, negara tujuan ekspor dianggap dapat menerima pelaksanaan ekspor Prekursor Non Farmasi.

(5) Kepala BNN harus menyampaikan pemberitahuan kepada ET-Prekursor Non Farmasi atas PEN yang disampaikan ke negara tujuan ekspor dengan tembusan kepada instansi terkait paling lama 2 (dua) hari kerja terhitung sejak jawaban PEN diterima atau setelah 5 (lima) hari kerja dalam hal Instansi/Badan/Lembaga yang berwenang di negara tujuan ekspor tidak memberikan konfirmasi.

(6) ET-Prekursor Non Farmasi hanya dapat melaksanakan ekspor setelah mendapat pemberitahuan dari BNN atas PEN yang disampaikan oleh Instansi/Badan/Lembaga yang berwenang di negara tujuan ekspor.

(7) Kepala BNN dapat menerbitkan peraturan pelaksanaan mengenai tata cara penerbitan PEN dengan berpedoman pada Peraturan Menteri ini.

BAB IV
VERIFIKASI ATAU PENELUSURAN TEKNIS

Pasal 7

(1) Setiap pelaksanaan ekspor Prekursor Non Farmasi oleh ET-Prekursor Non Farmasi harus terlebih dahulu dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis oleh Surveyor yang ditetapkan oleh Menteri.

(2) Verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum muat barang.

(3) Untuk dapat ditetapkan sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis, Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Verifikasi atau penelusuran teknis ekspor Prekursor Non Farmasi oleh Surveyor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 meliputi penelitian dan pemeriksaan terhadap data/atau keterangan sekurang-kurangnya mengenai:

(2) Hasil verifikasi atau penelusuran teknis yang telah dilakukan oleh Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) untuk digunakan sebagai dokumen pelengkap Pabean yang diwajibkan untuk pendaftaran Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) atau Pemberitahuan Pabean Single Administrative Document (PPSAD) untuk Kantor Pelayanan Bea dan Cukai yang sudah menerapkan.

(3) Atas pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis ekspor Prekursor Non Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Surveyor memungut imbalan jasa yang diberikannya dari ET-Prekursor Non Farmasi yang besarannya ditentukan dengan memperhatikan azas manfaat.

Pasal 9

Dalam pelaksanaan tugasnya, Surveyor harus dapat memastikan bahwa Prekursor Non Farmasi yang diekspor sesuai dengan yang tercantum dalam Laporan Surveyor (LS) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2).

BAB V
PELAPORAN

Pasal 10

(1) Perusahaan yang telah memperoleh pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi wajib menyampaikan laporan pelaksanaan ekspor secara tertulis kepada Direktur Jenderal dalam hal ini Direktur Ekspor Produk Industri dan Pertambangan, Kementerian Perdagangan dengan tembusan disampaikan kepada Kepala BNN, Kabareskrim POLRI, Dirjen BIM, dan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Kepala Badan POM) setiap 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal diterbitkan pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi.

(2) Laporan pelaksanaan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam hal terealisasi atau tidak terealisasi ekspor Prekursor Non Farmasi.

(3) Laporan pelaksanaan ekspor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui http://inatrade.kemendag.go.id.

Pasal 11

Surveyor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 wajib menyampaikan kepada Direktur Jenderal:

BAB VI
SANKSI

Pasal 12

(1) Pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi dibekukan apabila perusahaan tidak menyampaikan laporan pelaksanaan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 sebanyak 2 (dua) kali.

(2) Pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi yang telah dibekukan dapat diaktifkan kembali apabila perusahaan telah memenuhi kewajiban penyampaian laporan pelaksan aan ekspor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10.

(3) Pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi dicabut apabila perusahaan:

(4) Pembekuan, pengaktifan kembali dan pencabutan pengakuan sebagai ET-Prekursor Non Farmasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilakukan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 13

Penetapan sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis ekspor Prekursor Non Farmasi dicabut apabila Surveyor:

BAB VII
LAIN-LAIN

Pasal 14

(1) Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini juga berlaku untuk ekspor produk selain yang tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini, yang mengandung Prekursor dan diwajibkan untuk mendapat persetujuan ekspor oleh negara tujuan ekspor.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk produk obat-obatan.

Pasal 15

Untuk kepentingan pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri ini, Direktur Jenderal dapat membentuk tim pengawasan ekspor Prekursor Non Farmasi yang anggotanya terdiri dari unsur BNN, POLRI, dan Kementerian Perindustrian.

Pasal 16

Ketentuan pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 17

ET-Prekursor dan persetujuan ekspor yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 05/M-DAG/PER/1/2007 tentang Ketentuan Ekspor Prekursor dinyatakan tetap berlaku sampai dengan masa berlakunya berakhir.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 18

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 05/M-DAG/PER/1/2007 tentang Ketentuan Ekspor Prekursor dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 19

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 19 Juli 2012.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 18 Juli 2012
MENTERI PERDAGANGAN R.I.,
ttd.
GITA IRAWAN WIRJAWAN