to English

PERATURAN MENTERI PERTANIAN
NOMOR 07/Permentan/OT.140/1/2008

TENTANG
SYARAT DAN TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH, BIBIT TERNAK, DAN TERNAK POTONG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran I, II, III

Menimbang:

a. bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan benih, bibit ternak, dan ternak potong di dalam negeri, serta dalam upaya peningkatan penerimaan devisa negara, dapat dilakukan melalui kegiatan pemasukan dan pengeluaran benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong ke dan dari wilayah negara Republik Indonesia;

b. bahwa untuk mempertahankan wilayah negara Republik Indonesia dari status bebas Penyakit Hewan Menular Utama (PHMU), melindungi sumberdaya genetik ternak dan konsumen, maka pemasukan dan pengeluaran benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong ke dan dari wilayah negara Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan;

c. bahwa sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, pemasukan dan pengeluaran benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong menjadi kewenangan Pemerintah;

d. bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Syarat dan Tatacara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak, dan/atau Ternak Potong Ke dan Dari Wilayah Negara Republik Indonesia;

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2824);

2. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 56, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3482);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organization) (Lembaran Negara Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564 );

4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839), juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4548);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasan dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3101);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3253);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2000 tentang Karantina Hewan (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 161, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4002);

8. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (Lembaran Negara Tahun 2005 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4498);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4347);

10. Keputusan Presiden Nomor 187/M Tahun 2004 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu;

11. Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia, juncto Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2005;

12. Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2005 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Kementerian Negara Republik Indonesia;

13. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 299/Kpts/OT.140/7/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 11/Permentan/ OT.140/2/2007;

14. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 341/Kpts/OT.140/9/2005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian, juncto Peraturan Menteri Pertanian Nomor 12/Permentan/OT.140/2/2007;

15. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 35/Permentan/OT.140/8/ 2006 tentang Pedoman Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak;

16. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 36/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Sistem Perbibitan Ternak Nasional;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN MENTERI PERTANIAN TENTANG SYARAT DAN TATA CARA PEMASUKAN DAN PENGELUARAN BENIH, BIBIT TERNAK, DAN TERNAK POTONG.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan:

1. Pemasukan Benih, Bibit Ternak, dan/atau Ternak Potong adalah serangkaian kegiatan untuk memasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong dalam negeri.

2. Pengeluaran Benih, Bibit Ternak, dan/atau Ternak Potong adalah serangkaian kegiatan untuk mengeluarkan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong dari wilayah negara Republik Indonesia ke luar negeri.

3. Benih adalah hasil pemuliaan ternak yang berupa mani (semen), sel (oocyt), telur tetas, dan embrio.

4. Bibit Ternak adalah semua hasil pemuliaan ternak yang memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakan.

5. Ternak Potong adalah ternak sapi, kerbau, kambing, domba, babi, kuda, unggas dan ternak lain yang tujuan pemeliharaannya sebagai penghasil daging.

6. Negara Asal Pemasukan yang selanjutnya disebut Negara Asal adalah suatu negara yang mengeluarkan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong ke suatu tempat pemasukan di dalam wilayah negara Republik Indonesia.

7. Negara Tujuan adalah suatu negara yang menerima benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong dari wilayah negara Republik Indonesia.

8. Tindakan Karantina Hewan yang selanjutnya disebut Tindakan Karantina adalah kegiatan yang dilakukan untuk mencegah hama penyakit hewan karantina masuk ke, tersebar di, dan/atau keluar dari wilayah negara Republik Indonesia.

9. Surat Persetujuan Pemasukan yang selanjutnya disingkat SPP adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya, kepada perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah untuk dapat melakukan pemasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia.

10. Surat Persetujuan Pengeluaran yang selanjutnya disingkat SPP-l adalah keterangan tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuknya, kepada perorangan atau badan hukum atau instansi pemerintah untuk dapat melakukan pengeluaran benih, bibit ternak dan/atau ternak potong ke luar wilayah negara Republik Indonesia.

11. Persyaratan Kesehatan Hewan (Health Requirements) adalah persyaratan di bidang kesehatan hewan yang ditetapkan negara tujuan yang memuat status kesehatan hewan di negara asal, status kesehatan hewan di peternakan asal, dan perlakuan kesehatan hewan yang harus dipenuhi oleh negara asal.

12. Dokumen Kesehatan Hewan adalah surat keterangan yang menyatakan pemenuhan persyaratan kesehatan hewan sebagaimana ditentukan dalam Health Requirements yang ditetapkan oleh negara tujuan oleh pejabat kesehatan hewan yang berwenang di negara asal atau surat keterangan asal yang menyatakan pemenuhan persyaratan kesehatan hewan yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwenang di kabupaten/kota setempat.

13. Kesejahteraan Hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang harus diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan orang atau badan hukum yang tidak layak terhadap hewan, termasuk ternak yang dimanfaatkan manusia.

14. Hama dan Penyakit Hewan Karantina yang selanjutnya disingkat HPHK adalah semua hama, hama penyakit dan penyakit hewan yang berdampak sosio ekonomi nasional dan perdagangan internasional serta menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat veteriner yang dapat digolongkan menurut tingkat risikonya.

15. Penyakit Hewan Menular Utama yang selanjutnya disingkat PHMU adalah penyakit-penyakit yang mempunyai daya penularan cepat dan berdampak sosial ekonomi dan/atau yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan masyarakat yang serius serta merupakan penyakit yang penting dalam perdagangan hewan serta produk hewan secara internasional yang disebabkan oleh virus, parasit, bakteri dan prion yang mengacu pada daftar penyakit hewan menular Office International des Epizooties (OIE)/World Organization for Animal Health (WOAH).

16. Penyakit Hewan Eksotik adalah penyakit yang belum pernah terjadi atau muncul di suatu negara atau wilayah baik secara klinis, epidemiologis maupun laboratoris.

17. Dinas adalah instansi pemerintah daerah yang menangani fungsi peternakan dan/atau kesehatan hewan.

Pasal 2

(1) Peraturan ini dimaksudkan sebagai:

(2) Peraturan ini bertujuan untuk:

Pasal 3

Ruang lingkup peraturan ini meliputi pemasukan dan pengeluaran benih, bibit ternak dan ternak potong, pengemasan dan pengangkutan, pengawasan, serta sanksi.

BAB II
PEMASUKAN BENIH, BIBIT TERNAK DAN TERNAK POTONG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 4

(1) Pemasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah.

(2) Pemasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, pengembangan agribisnis peternakan atau pengembangan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong.

(3) Pemasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mendapat SPP dari Menteri.

(4) Pelaksanaan pemberian SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri.

Pasal 5

Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang memasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong wajib mencegah kemungkinan timbul dan menyebarnya HPHK, PHMU dan/atau penyakit hewan eksotik dan bertanggung jawab terhadap perlindungan sumberdaya genetic ternak, serta menjaga kelangsungan pengembangan populasi ternak dalam negeri.

Bagian Kedua
Persyaratan Pemasukan Benih dan/atau Bibit Ternak

Pasal 6

(1) Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) yang melakukan pemasukan benih dan/atau bibit ternak harus memenuhi persyaratan administrasi, persyaratan teknis dan persyaratan kesehatan hewan serta mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan.

(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah yang melakukan pemasukan benih dan/atau bibit ternak.

Pasal 7

(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) yang berlaku bagi perorangan meliputi:

(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) yang berlaku bagi badan hukum meliputi:

Pasal 8

(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) meliputi persyaratan kesehatan hewan (certificate of animal health), sertifikat asal usul benih atau bibit ternak (pedigree) dan persyaratan negara asal (certificate of origin).

(2) Selain persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing jenis benih atau bibit ternak yang akan dimasukan harus memenuhi persyaratan teknis minimal seperti tercatum pada Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Pasal 9

(1) Suatu negara dapat ditetapkan sebagai negara asal pemasukan benih atau bibit ternak oleh Menteri, setelah mendapat pertimbangan teknis dari tim.

(2) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan tersendiri yang keanggotaannya terdiri dari unsure Direktorat Jenderal Peternakan dan Badan Karantina Pertanian.

(3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam memberikan pertimbangan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada penilaian kesehatan hewan dan penilaian karantina hewan.

(4) Pelaksanaan penetapan negara asal pemasukan benih atau bibit ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri.

Pasal 10

Penilaian kesehatan hewan dan penilaian karantina hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) dilakukan dengan menggunakan kriteria penilaian sebagai berikut:

Bagian Ketiga
Persyaratan Pemasukan Ternak Potong

Pasal 11

(1) Pemasukan ternak potong hanya dapat dilakukan oleh badan hukum.

(2) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi persyaratan kesehatan hewan (certificate of animal health), sertifikat asal usul ternak potong, dan persyaratan negara asal (certificate of origin).

(3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ternak potong yang dimasukan harus memenuhi persyaratan teknis minimal seperti tercantum pada Lampiran I sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Bagian Keempat
Tata Cara Pemasukan

Pasal 12

(1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang melakukan kegiatan pemasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong wajib menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kepala Badan Karantina Pertanian, dengan menggunakan formulir model-1 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan:

(3) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja harus segera memberikan jawaban ditunda atau ditolak.

Pasal 13

(1) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) apabila masih ada kekurangan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 yang harus dilengkapi dan diberitahukan kepada pemohon secara tertulis dengan menggunakan formulir model-2 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) Pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah melengkapi kekurangan persyaratan administrasi.

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon belum melengkapi kekurangan persyaratan administrasi, permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 14

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) ditolak apabila persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 tidak benar.

(2) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada pemohon secara tertulis yang disertai alasan penolakannya dengan menggunakan formulir model-3 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Pasal 15

(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan administrasi, oleh Kepala Pusat Perizinan dan Investasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kepala Badan Karantina Pertanian.

(2) Direktur Jenderal Peternakan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan analisa teknis benih, bibit ternak dan/atau ternak potong terhadap dipenuhinya persyaratan teknis dan persyaratan kesehatan hewan.

(3) Kepala Badan Karantina Pertanian melakukan analisa teknis di bidang karantina hewan.

(4) Hasil analisa teknis dari Kepala Badan Karantina Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kepala Pusat Perizinan dan Investasi untuk diteruskan kepada Direktur Jenderal Peternakan sebagai bahan pertimbangan dalam menerbitkan SPP.

Pasal 16

(1) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah menerima pertimbangan teknis dari Kepala Badan Karantina Pertanian menyampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan.

(2) Direktur Jenderal Peternakan berdasarkan pertimbangan teknis Kepala Badan Karantina Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan setelah dilakukan analisa teknis benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) paling lama dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sudah harus memberikan jawaban penolakan atau persetujuan.

Pasal 17

Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) oleh Direktur Jenderal Peternakan diberikan secara tertulis dengan disertai alasan yang disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dengan menggunakan formulir model-4 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Pasal 18

(1) Permohonan yang disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) diterbitkan SPP oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri dalam bentuk Keputusan Menteri dengan mengunakan formulir model-5 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, Kepala Dinas Provinsi, dan Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Hewan tempat pemasukan.

Pasal 19

(1) Perorangan, badan hukum, atau instansi pemerintah yang telah memperoleh SPP dari Direktur Jenderal Peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat memasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong.

(2) SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender terhitung sejak diterbitkan.

(3) Apabila terjadi wabah penyakit hewan di negara asal SPP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak berlaku.

(4) Perorangan, badan hukum, atau instansi pemerintah yang melakukan pemasukan benih, bibit ternak, dan/atau ternak potong wajib memberikan laporan realisasi pemasukan kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Kepala Pusat Perizinan dan Investasi, dan Kepala Dinas di provinsi yang menerbitkan rekomendasi paling lama 7 (tujuh) hari kalender setelah pemasukan.

BAB III
PENGELUARAN BENIH, BIBIT TERNAK, DAN TERNAK POTONG

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 20

(1) Pengeluaran benih dan/atau bibit ternak dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah.

(2) Pengeluaran benih dan/atau bibit ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk keperluan penelitian, memberikan nilai tambah bagi pemberdayaan peternak, dan peningkatan devisa.

(3) Pengeluaran benih dan/atau bibit ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan setelah mendapat SPP-I dari Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri.

Pasal 21

(1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang mengeluarkan benih dan/atau bibit ternak ke luar wilayah negara Republik Indonesia wajib memenuhi persyaratan dan tata cara yang ditetapkan dalam Peraturan ini.

(2) Jenis dan daerah asal benih dan/atau bibit ternak yang dapat dikeluarkan ditetapkan oleh Menteri.

(3) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang mengeluarkan benih dan/atau bibit ternak wajib mempertahankan kelestarian sumberdaya genetik di dalam negeri.

(4) Selain memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) pengeluaran benih dan/atau bibit ternak dapat dilakukan dengan mempertimbangkan populasi ternak untuk kebutuhan dalam negeri berdasarkan kajian teknis yang dilakukan oleh Direktur Jenderal Peternakan setelah mendapat saran dan pertimbangan dari Komisi Bibit Ternak Nasional, dan Komisi Nasional Sumber Daya Genetik.

Bagian Kedua
Persyaratan Pengeluaran Benih dan/atau Bibit Ternak

Pasal 22

(1) Pengeluaran benih dan/atau bibit ternak dapat dilakukan oleh perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah.

(2) Pengeluaran benih dan/atau bibit ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat SPP-I dari Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri.

Pasal 23

Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang mengeluarkan benih dan/atau bibit ternak wajib mencegah kemungkinan timbul dan menyebarnya HPHK/PHMU dan bertanggung jawab terhadap perlindungan sumberdaya genetik ternak, serta menjaga kelangsungan pengembangan populasi ternak dalam negeri.

Pasal 24

(1) Perorangan atau badan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 yang melakukan pengeluaran benih dan/atau bibit ternak harus memenuhi persyaratan administrasi, persyaratan teknis dan persyaratan kesehatan hewan serta mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan.

(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi instansi pemerintah yang melakukan pengeluaran benih dan/atau bibit ternak.

Pasal 25

(1) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) yang berlaku bagi perorangan meliputi:

(2) Persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) yang berlaku bagi badan hukum meliputi:

Pasal 26

(1) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) meliputi persyaratan kesehatan hewan (certificate of animal health), sertifikat asal usul benih atau bibit ternak (pedigree) dan persyaratan daerah asal (certificate of origin).

(2) Selain persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing-masing jenis benih dan/atau bibit ternak yang akan dikeluarkan harus memenuhi persyaratan teknis minimal seperti tercantum pada Lampiran II sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Bagian Ketiga
Persyaratan Pengeluaran Ternak Potong

Pasal 27

(1) Pengeluaran ternak potong hanya dapat dilakukan oleh badan hukum.

(2) Badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selain memenuhi persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi persyaratan kesehatan hewan (certificate of animal health), dan persyaratan daerah asal (certificate of origin).

Bagian Keempat
Tata Cara Pengeluaran

Pasal 28

(1) Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang melakukan kegiatan pengeluaran benih, bibit ternak dan/atau ternak potong wajib menyampaikan permohonan secara tertulis kepada Menteri melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kepala Badan Karantina Pertanian, dengan menggunakan formulir model-6 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan:

(3) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari kerja harus segera memberikan jawaban ditunda atau ditolak.

Pasal 29

(1) Permohonan ditunda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) apabila masih ada kekurangan persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 yang harus dilengkapi dan diberitahukan kepada pemohon secara tertulis dengan menggunakan formulir model-7 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) Pemohon dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 29 ayat (1) harus sudah melengkapi kekurangan persyaratan administrasi.

(3) Apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) pemohon belum melengkapi kekurangan persyaratan administrasi, permohonan dianggap ditarik kembali.

Pasal 30

(1) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (3) ditolak apabila persyaratan administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 tidak benar.

(2) Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan oleh Kepala Pusat Perizinan dan Investasi kepada pemohon secara tertulis yang disertai alasan penolakannya dengan menggunakan formulir model-8 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Pasal 31

(1) Permohonan yang telah memenuhi persyaratan administrasi, oleh Kepala Pusat Perizinan dan Investasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kepala Badan Karantina Pertanian.

(2) Direktur Jenderal Peternakan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan analisa teknis benih, bibit ternak atau ternak potong terhadap dipenuhinya persyaratan teknis dan persyaratan kesehatan hewan.

(3) Kepala Badan Karantina Pertanian melakukan analisa teknis di bidang karantina hewan.

(4) Hasil analisa teknis dari Kepala Badan Karantina Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Kepala Pusat Perizinan dan Investasi untuk diteruskan kepada Direktur Jenderal Peternakan sebagai bahan pertimbangan dalam menerbitkan SPP-I.

Pasal 32

(1) Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari kerja setelah menerima pertimbangan teknis dari Kepala Badan Karantina Pertanian menyampaikan kepada Direktur Jenderal Peternakan.

(2) Direktur Jenderal Peternakan berdasarkan pertimbangan teknis Kepala Badan Karantina Pertanian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan setelah dilakukan analisa teknis kesehatan hewan benih, bibit ternak atau ternak potong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) paling lama dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja sudah harus memberikan jawaban penolakan atau persetujuan.

Pasal 33

Penolakan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) oleh Direktur Jenderal Peternakan diberikan secara tertulis dengan disertai alasan disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dengan menggunakan formulir model-9 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

Pasal 34

(1) Permohonan yang disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) diterbitkan SPP-I oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri dalam bentuk Keputusan Menteri dengan mengunakan formulir model-10 seperti tercantum pada Lampiran III sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan Peraturan ini.

(2) SPP-I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada pemohon melalui Kepala Pusat Perizinan dan Investasi dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Departemen Keuangan, Kepala Dinas Provinsi, dan Kepala Balai Besar/Balai/Stasiun Karantina Hewan tempat pengeluaran.

Pasal 35

(1) Perorangan, badan hukum, atau instansi pemerintah yang telah memperoleh SPP-I dari Direktur Jenderal Peternakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 dapat mengeluarkan benih, bibit ternak dan/atau ternak potong.

(2) SPP-I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari kalender terhitung sejak diterbitkan.

(3) Apabila terjadi wabah penyakit hewan di daerah asal, SPP-I sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dinyatakan tidak berlaku.

(4) Perorangan, badan hukum, atau instansi pemerintah yang melakukan pengeluaran benih, bibit ternak atau ternak potong wajib memberikan laporan realisasi pengeluaran kepada Direktur Jenderal Peternakan dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Badan Karantina Pertanian, Kepala Pusat Perizinan dan Investasi, dan Kepala Dinas Provinsi yang menerbitkan rekomendasi paling lambat 7 (tujuh) hari kalender setelah pengeluaran.

BAB IV
PENGEMASAN DAN PENGANGKUTAN

Pasal 36

Perorangan, badan hukum atau instansi pemerintah yang memasukan dan/atau mengeluarkan benih, bibit ternak atau ternak potong selain harus memenuhi persyaratan teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) harus memenuhi persyaratan kaedah kesejahteraan hewan dalam pelaksanaan pengemasan, pengangkutan.

Pasal 37

(1) Selain harus memenuhi persyaratan kaedah kesejahteraan hewan pengemasan dan pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 untuk pemasukan dan/atau pengeluaran benih, dan bibit ternak unggas harus dikemas sedemikian rupa untuk mempertahankan kestabilan mutu, kesehatan dan keamanannya.

(2) Kemasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) apabila benih, dan bibit ternak unggas tersebut berasal dari luar negeri harus asli dari negara asal, memiliki label dan disegel, serta harus memenuhi Standar Nasional Indonesia atau persyaratan teknis minimal yang ditetapkan.

Pasal 38

(1) Untuk mencegah masuknya HPHK dan/atau PHMU dari luar negeri ke dalam wilayah negara Republik Indonesia melalui transit alat angkut yang membawa benih, bibit ternak atau ternak potong, transit hanya dapat disetujui pada tempat-tempat yang telah ditetapkan serta mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang karantina.

(2) Transhipment hanya dapat dilakukan di area karantina di tempat transit yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 39

(1) Alat angkut yang dipergunakan untuk pengangkutan benih, bibit ternak atau ternak potong harus memenuhi persyaratan Standar Nasional Indonesia atau persyaratan teknis minimal yang ditetapkan dengan Peraturan tersendiri.

(2) Dalam hal pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap bibit ternak atau ternak potong dalam satu pengapalan, maka harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

BAB V
PENGAWASAN

Pasal 40

Pengawasan terhadap pemasukan benih, bibit ternak atau ternak potong dari luar negeri yang telah dibebaskan dari tindakan karantina dilakukan oleh pejabat fungsional atau petugas yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Provinsi dan/atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.

Pasal 41

Pengawasan terhadap lalu-lintas ternak dalam rangka pengeluaran benih, bibit ternak atau ternak potong dilakukan oleh Dinas Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota, terhadap dipenuhinya ketentuan mengenai jenis, daerah asal, populasi dan kelestarian sumberdaya genetik ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.

BAB VI
KETENTUAN SANKSI

Pasal 42

(1) Berdasarkan hasil pengawasan yang dilakukan oleh pejabat fungsional atau petugas yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 diketahui terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini, Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri, Gubernur dan Bupati/Walikota dapat mengambil tindakan administratif.

(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

(3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan tingkat risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran yang dilakukan.

(4) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, d dan e dilakukan oleh Direktur Jenderal Peternakan atas nama Menteri.

(5) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan c dilakukan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 43

Pada saat mulai berlakunya Peraturan ini:

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44

Dengan berlakunya Peraturan ini, Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 750/Kpts/UM/10/1982 tentang Syarat-Syarat Pemasukan Bibit Ternak Dari Luar Negeri, Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 752/Kpts/UM/10/1982 tentang Syarat-syarat Teknis Bibit Sapi Perah Yang Dimasukan Dari Luar Negeri sepanjang telah diatur dalam Peraturan ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 45

Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2008
MENTERI PERTANIAN,
ttd,
ANTON APRIYANTONO