to English

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI
NOMOR PER-17/BC/2012

TENTANG
PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-57/BC/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT

DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI,

Menimbang:

a. bahwa sehubungan dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.04/2012 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 Tentang Kawasan Berikat perlu dilakukan penyempurnaan pada Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-57/BC/2011 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-2/BC/2012;

b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-57/BC/2011 tentang Kawasan Berikat;

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3262), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4999);

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 50, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3263) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4893);

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3264), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5069);

4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);

6. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775);

7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2009 tentang Tempat Penimbunan Berikat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 61, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4998);

8. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.04/2012;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL BEA DAN CUKAI NOMOR PER-57/BC/2011 TENTANG KAWASAN BERIKAT

Pasal I

Beberapa ketentuan dalam Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-57/BC/2011 tentang Kawasan Berikat sebagaimana diubah dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Nomor PER-2/BC/2012, diubah sebagai berikut:

1. Ketentuan Pasal 1 huruf 10 diubah sehingga Pasal 1 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

2. Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.

3. Tempat Penimbunan Berikat adalah bangunan, tempat, atau kawasan yang memenuhi persyaratan tertentu yang digunakan untuk menimbun barang dengan tujuan tertentu dengan mendapatkan penangguhan Bea Masuk.

4. Kawasan Berikat adalah Tempat Penimbunan Berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor.

5. Penyelenggara Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan menyediakan dan mengelola kawasan untuk kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.

6. Pengusaha Kawasan Berikat adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat.

7. Pengusaha di Kawasan Berikat merangkap Penyelenggara di Kawasan Berikat, yang selanjutnya disingkat PDKB, adalah badan hukum yang melakukan kegiatan pengusahaan Kawasan Berikat yang berada di dalam Kawasan Berikat milik Penyelenggara Kawasan Berikat yang statusnya sebagai badan hukum yang berbeda.

8. Kegiatan Pengolahan adalah kegiatan:

9. Kegiatan Penggabungan adalah menggabungkan barang Hasil Produksi Kawasan Berikat yang bersangkutan sebagai produk utama dengan barang jadi yang berasal dari impor, dari Kawasan Berikat lain, dan/atau dari tempat lain dalam daerah pabean.

10. Barang Modal adalah barang yang digunakan oleh Penyelenggara Kawasan Berikat, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB berupa:

11. Bahan Baku adalah barang dan bahan yang akan diolah menjadi barang hasil produksi yang mempunyai nilai guna yang lebih tinggi.

12. Bahan Penolong adalah barang dan bahan selain Bahan Baku yang digunakan dalam Kegiatan Pengolahan atau Kegiatan Penggabungan yang berfungsi membantu dalam proses produksi.

13. Sisa Bahan Baku adalah Bahan Baku yang masih tersisa yang tidak digunakan lagi dalam proses produksi.

14. Hasil Produksi Kawasan Berikat adalah hasil dari Kegiatan Pengolahan atau Kegiatan Pengolahan dan Kegiatan Penggabungan sesuai yang tercantum dalam keputusan mengenai penetapan izin sebagai Kawasan Berikat.

15. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan Cukai.

16. Pajak Dalam Rangka Impor yang selanjutnya disingkat PDRI adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dan/atau Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor.

17. Media Penyimpan Data Elektronik adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.

18. Pertukaran Data Elektronik yang selanjutnya disingkat dengan PDE adalah alir informasi bisnis secara elektronik antar aplikasi, antar organisasi secara langsung yang terintegrasi melalui jaringan komputer.

19. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

20. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

21. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

22. Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama adalah Kantor Wilayah atau Kantor Pelayanan Utama di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.

23. Kantor Pabean adalah kantor dalam lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tempat dipenuhinya kewajiban pabean sesuai dengan Undang-Undang Kepabeanan dan Undang-Undang Cukai.

24. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu.

25. Petugas Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang bertugas di Kawasan Berikat.

26. Badan Pengusahaan Kawasan Bebas adalah Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas."

2. Diantara Pasal 35 dan Pasal 36 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 35A yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 35A

(1) Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat memasukkan barang modal berupa peralatan pabrik dan/atau suku cadang barang modal yang diimpor tidak bersamaan dengan barang modal yang bersangkutan dari luar daerah pabean atau Kawasan Berikat lain dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan pemasukan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi melalui Kepala Kantor Pabean.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri sekurang-kurangnya:

(3) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kepala Kantor Pabean melakukan penelitian terhadap kelengkapan berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tingkat kepatuhan perusahaan yang meliputi:

(4) Dalam hal permohonan yang diajukan melalui Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan tidak lengkap dan/atau berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perusahaan tidak memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, Kepala Kantor Pabean mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon dengan menyebutkan alasan pengembalian.

(5) Dalam hal permohonan yang diajukan melalui Kepala Kantor Pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (2) telah lengkap dan berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perusahaan telah memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan, Kepala Kantor Pabean meneruskan permohonan kepada Kepala Kantor wilayah dengan memberikan rekomendasi.

(6) Berdasarkan permohonan yang diteruskan oleh Kepala Kantor Pabean, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama melakukan penelitan hal-hal sebagai berikut:

(7) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama memberikan persetujuan atau penolakan atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan hasil penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (6)."

3. Diantara Pasal 58 dan Pasal 59 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 58A yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 58A

(1) Pengeluaran barang modal asal impor yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk ke Kawasan Berikat lain sebelum jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diimpor dan/atau belum dipergunakan di Kawasan Berikat yang bersangkutan dilakukan dengan mengajukan permohonan persetujuan disertai dengan alasan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama yang mengawasi.

(2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:

(3) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama melakukan penelitian serta memberikan persetujuan atau penolakan setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap.

(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menerbitkan surat persetujuan pemindahtanganan barang modal asal impor yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk ke Kawasan Berikat lain kepada pemohon sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(5) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menyampaikan surat penolakan kepada pemohon dengan menyebutkan alasan penolakan."

4. Ketentuan Pasal 60 ayat (1) diubah sehingga Pasal 60 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 60

(1) Pengeluaran barang modal asal impor yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk ke tempat lain dalam daerah pabean sebelum jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diimpor atau sejak dimasukkan untuk digunakan di Kawasan Berikat asal, dan telah dipergunakan di Kawasan Berikat sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun dilakukan dengan mengajukan permohonan persetujuan kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Kantor Pabean yang mengawasi.

(2) Jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diimpor atau sejak dimasukkan untuk digunakan di Kawasan Berikat asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dari tanggal Pemberitahuan Impor Barang untuk Ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat.

(3) Telah dipergunakan di Kawasan Berikat sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dari pemakaian barang modal di Kawasan Berikat.

(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:

(5) Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon dengan menyebutkan alasan pengembalian.

(6) Berdasarkan berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Kepala Kantor Pabean melakukan penelitian dan meneruskan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah setelah permohonan diterima secara lengkap.

(7) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama memberikan persetujuan atau penolakan setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.

(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menerbitkan surat persetujuan pemindahtanganan barang modal asal impor yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk ke perusahaan di tempat lain dalam daerah pabean sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menyampaikan surat penolakan kepada pemohon dengan menyebutkan alasan penolakan."

5. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) diubah sehingga Pasal 61 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 61

(1) Pengeluaran Barang Modal asal impor yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk ke tempat lain dalam daerah pabean setelah jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diimpor atau sejak dimasukkan untuk digunakan di Kawasan Berikat asal, dan telah dipergunakan di Kawasan Berikat sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun dilakukan dengan mengajukan permohonan keputusan pembebasan Bea Masuk kepada Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Wilayah melalui Kepala Kantor Pabean yang mengawasi.

(2) Jangka waktu 4 (empat) tahun sejak diimpor atau sejak dimasukkan untuk digunakan di Kawasan Berikat asal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dari tanggal Pemberitahuan Impor Barang untuk Ditimbun di Tempat Penimbunan Berikat.

(3) Telah dipergunakan di Kawasan Berikat sekurang-kurangnya selama 2 (dua) tahun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung dari pemakaian barang modal di Kawasan Berikat.

(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri dengan:

(5) Dalam hal berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diajukan tidak lengkap, Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon dengan menyebutkan alasan pengembalian.

(6) Kepala Kantor Pabean melakukan penelitian dan meneruskan berkas permohonan tersebut kepada Kepala Kantor Wilayah setelah permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap.

(7) Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama memberikan persetujuan atau penolakan setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima secara lengkap.

(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disetujui, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama atas nama Menteri menerbitkan keputusan pembebasan Bea Masuk atas barang modal asal impor yang belum diselesaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran XVI yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

(9) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak, Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama menyampaikan surat penolakan kepada pemohon dengan menyebutkan alasan penolakan."

6. Ketentuan Pasal 76 diubah sehingga Pasal 76 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 76

(1) Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat:

(2) Pemeriksaan awal atau penyortiran dan pemeriksaan akhir atau pengepakan, atas pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dilakukan di Kawasan Berikat yang bersangkutan.

(3) Pekerjaan pemeriksaan awal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi pekerjaan pengecekan kualitas dan kuantitas barang saat pertama barang datang atau diterima.

(4) Pekerjaan penyortiran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan pemisahan barang untuk di simpan di gudang bahan baku sebelum masuk proses produksi.

(5) Pekerjaan pemeriksaan akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan kontrol kualitas hasil produksi Kawasan Berikat apakah layak untuk di ekspor.

(6) Pekerjaan pengepakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi kegiatan pengemasan hasil produksi Kawasan Berikat.

(7) Barang hasil subkontrak harus dimasukkan kembali ke Kawasan Berikat termasuk barang/bahan sisa dan/atau potongan."

7. Diantara Pasal 76 dan Pasal 77 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 76A yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 76A

(1) Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat menerima pekerjaan subkontrak dari perusahaan industri di tempat lain dalam daerah pabean, setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean yang mengawasi.

(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus mengajukan permohonan yang dilampiri dengan perjanjian subkontrak.

(3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan tidak lengkap, maka Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon dengan menyebutkan alasan pengembalian.

(4) Perjanjian subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:

(5) Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean melakukan penelitian dan memberikan persetujuan atau penolakan setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap.

(6) Dalam memberikan persetujuan, Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean mempertimbangkan:

(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui, Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean menerbitkan surat persetujuan.

(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak, Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean menyampaikan surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan."

8. Ketentuan Pasal 77 diubah sehingga Pasal 77 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 77

(1) Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB dapat memberikan pekerjaan subkontrak dalam jangka waktu paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan subkontrak sampai dengan barang hasil subkontrak dimasukkan kembali ke Kawasan Berikat, setelah mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean yang mengawasi.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diberikan perpanjangan.

(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus mengajukan permohonan yang dilampiri dengan:

(4) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diajukan tidak lengkap, maka Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean mengembalikan berkas permohonan kepada pemohon dengan menyebutkan alasan pengembalian.

(5) Perjanjian subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b paling sedikit memuat:

(6) Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean melakukan penelitian dan memberikan persetujuan atau penolakan setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterima secara lengkap.

(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disetujui, Kepala Kantor Pelayanan Utama, Kepala Kantor Pabean, atau pejabat yang ditunjuk menerbitkan surat persetujuan subkontrak.

(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditolak, Kepala Kantor Pelayanan Utama, Kepala Kantor Pabean, atau pejabat yang ditunjuk menyampaikan surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan.

(9) Dalam rangka menjaga kelancaran pelayanan kepada Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB, Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean dapat mendelegasikan kewenangan pemberian persetujuan memberikan pekerjaan subkontrak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat dibawahnya dengan mempertimbangkan sekurang-kurangnya:

(10) Pendelegasian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dengan diterbitkan Keputusan Kepala Kantor Pabean.

(11) Kepala Kantor Pelayanan Utama atau Kepala Kantor Pabean dapat melakukan pemeriksaan lokasi perusahaan penerima subkontrak dalam hal subkontrak dilakukan ke perusahaan industri di tempat lain dalam daerah pabean."

9. Diantara Pasal 92 dan Pasal 93 disisipkan 1 (satu) pasal, yakni Pasal 92A yang berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 92A

(1) Barang asal luar daerah pabean yang masih terutang atau masih menjadi tanggung jawab Kawasan Berikat yang telah dicabut izinnya, harus:

(2) Pelaksanaan ekspor kembali, pengeluaran ke tempat lain dalam daerah pabean, dan/atau pemindahtanganan ke Kawasan Berikat lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan dokumen pemberitahuan pabean atas nama Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang telah dicabut izinnya sesuai peraturan perundangan yang mengatur mengenai dokumen pemberitahuan pabean.

(3) Nilai pabean yang dipergunakan dalam rangka pembayaran bea masuk, cukai, dan atau PDRI sebagaimana dimaksud pada ayat 2 huruf b mengacu kepada perhitungan bea masuk, cukai, dan atau PDRI yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/20011 sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 44/PMK.04/2011.

(4) Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang telah dicabut izinnya tidak dapat mengajukan permohonan pembebasan bea masuk untuk penyelesaian barang modal asal luar daerah pabean yang masih ada di Kawasan Berikat yang bersangkutan.

(5) Terhadap persetujuan pembebasan bea masuk yang diterbitkan sebelum izin Kawasan Berikat dicabut dapat dipergunakan untuk penyelesaian barang asal luar daerah pabean yang masih terutang atau masih menjadi tanggung jawab Kawasan Berikat yang telah dicabut izinnya."

10. Ketentuan Pasal 93 diubah sehingga Pasal 93 berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 93

(1) Terhadap izin sebagai Kawasan Berikat yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat dan lokasi Kawasan Berikat tersebut berada di luar kawasan industri, berlaku ketentuan sebagai berikut:

(2) Perpanjangan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat diberikan sampai dengan 31 Desember 2016 dengan ketentuan:

11. Ketentuan Pasal 93A diubah sehingga Pasal 93A berbunyi sebagai berikut:

"Pasal 93A

(1) Terhadap Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB yang telah mendapatkan izin sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat berlaku ketentuan sebagai berikut:

(2) Untuk mendapatkan persetujuan pemindahtanganan barang modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan tidak melebihi 4 (empat) tahun, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus mengajukan permohonan kepada Direktur Fasilitas Kepabeanan dengan melampirkan:

(3) Terhadap pemindahtanganan barang modal dari Kawasan Berikat ke tempat lain dalam daerah pabean yang diimpor sebelum berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.04/2011 tentang Kawasan Berikat dan telah melebihi 4 (empat) tahun sejak diimpor atau dimasukkan ke Kawasan Berikat, persetujuan pemindahtanganan barang modal dimaksud diajukan ke Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pelayanan Utama.

(4) Untuk mendapatkan persetujuan penjualan hasil produksi ke tempat lain dalam daerah pabean sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, Pengusaha Kawasan Berikat atau PDKB harus mengajukan permohonan kepada Direktur Fasilitas Kepabeanan dengan melampirkan:

(5) Nilai produksi tahun berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dihitung sebesar nilai produksi perusahaan pada saat pengajuan permohonan dimulai dari 1 Januari tahun yang bersangkutan.

(6) Direktur Fasilitas Kepabeanan, melakukan penelitian dan memberikan persetujuan atau penolakan setelah berkas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) diterima secara lengkap.

(7) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) disetujui, Direktur Fasilitas Kepabeanan menerbitkan surat persetujuan.

(8) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (4) ditolak, Direktur Fasilitas Kepabeanan, menyampaikan surat penolakan dengan menyebutkan alasan penolakan."

Pasal II

Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 April 2012
DIREKTUR JENDERAL,
ttd,
AGUNG KUSWANDONO
NIP 19670329 199103 1 001