to English

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN
NOMOR 27/M-DAG/PER/5/2012

TENTANG
KETENTUAN ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Lampiran

Menimbang:

a. bahwa dalam rangka meningkatkan daya dukung kebijakan perdagangan luar negeri di bidang impor terhadap pembangunan ekonomi nasional, perlu mendorong terselenggaranya jaminan kepastian berusaha serta iklim usaha yang lebih konsusif melalui peningkatan pengawasan dan monitoring Angka Pengenal Importir (API);

b. bahwa Angka Pengenal Importir (API) merupakan tanda pengenal yang harus dimiliki oleh importir dalam melakukan kegiatan importasi barang, yang digunakan oleh Pemerintah sebagai instrumen penataan tertib impor dalam rangka pelaksanaan kebijakan perdagangan luar negeri di bidang impor;

c. bahwa peraturan mengenai Angka Pengenal Importir (API) yang ada dalam pelaksanaannya belum dapat mengoptimalkan fungsi Angka Pengenal Importir (API) dalam meningkatkan daya dukung kebijakan perdagangan luar negeri;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengatur kembali ketentuan mengenai Angka Pengenal Importir (API);

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, perlu ditetapkan Peraturan Menteri Perdagangan;

Mengingat:

1. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 (Staatsblad tahun 1938 Nomor 86);

2. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3214);

3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);

4. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);

5. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

6. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817);

7. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 251, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4053) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4775);

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3839) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548);

9. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4724);

10. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

11. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

12. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2007, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737);

13. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4757);

14. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4758);

15. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4759);

16. Keputusan Presiden Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri;

17. Peraturan Presiden Nomor 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal;

18. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011;

19. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011;

20. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2011;

21. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 28/M-DAG/PER/6/2009 tentang Ketentuan Pelayanan Perijinan Ekspor dan Impor dengan Sistem Elektronik Melalui INATRADE Dalam Kerangka Indonesia National Single Window;

22. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54/M-DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor;

23. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/7/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan;

24. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang yang Dibawa oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas, dan Barang Kiriman;

25. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN ANGKA PENGENAL IMPORTIR (API).

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean Indonesia.

2. Angka Pengenal Importir, yang selanjutnya disingkat API adalah tanda pengenal sebagai importir.

3. Importir adalah orang perorangan atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang melakukan kegiatan impor.

4. Tes Pasar adalah kegiatan untuk menjual barang industri tertentu yang diimpor oleh Produsen yang belum dapat diproduksinya dengan tujuan untuk mengetahui reaksi pasar dan digunakan dalam rangka pengembangan usahanya.

5. Barang Komplementer adalah barang industri tertentu yang terkait dengan izin usaha industrinya, yang diimpor oleh produsen importir yang berasal dari dan dihasilkan oleh perusahaan luar negeri yang memiliki hubungan istimewa dengan importir.

6. Hubungan istimewa adalah hubungan antara perusahaan pemilik API-P dengan perusahaan di luar negeri dimana salah satu pihak mempunyai kemampuan mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional sesuai standar akuntansi yang berlaku.

7. Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

8. Penanaman Modal Dalam Negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.

9. Penanaman Modal Asing adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

10. Menteri adalah Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan.

11. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan.

12. Dinas Provinsi adalah dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan di provinsi.

13. Dinas Kabupaten/Kota adalah dinas yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan di kabupaten/kota.

14. Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan adalah Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun.

15. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan adalah Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagarigan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun.

Pasal 2

Impor hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki API.

Pasal 3

API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 terdiri atas:

Pasal 4

(1) API-U sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 huruf a diberikan hanya kepada perusahaan yang melakukan impor barang tertentu untuk tujuan diperdagangkan.

(2) Impor barang tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya untuk kelompok/jenis barang yang tercakup dalam 1 (satu) bagian (section) sebagaimana tercantum dalam Sistem Klasifikasi Barang berdasarkan peraturan perundang-undangan.

(3) Kelompok/jenis barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam API-U yang diberikan kepada masing-masing perusahaan.

(4) Bagian (section) dalam Sistem Klasifikasi Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan Peraturan Menteri ini.

Pasal 5

(1) API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, diberikan hanya kepada perusahaan yang melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri sebagai barang modal, bahan baku, bahan penolong, dan/atau bahan untuk mendukung proses produksi,

(2) Barang yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.

Pasal 6

(1) Perusahaan pemilik API-P dapat mengimpor barang industri tertentu sepanjang diperlukan untuk pengembangan usaha dan investasinya.

(2) Barang industri tertentu yang diimpor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperdagangkan dan/atau dipindahtangankan kepada pihak lain.

(3) Barang industri tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak digunakan dalam proses produksi dan hanya digunakan untuk tujuan tes pasar dan/atau sebagai barang komplementer.

Pasal 7

Barang industri tertentu yang diimpor untuk tujuan tes pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Pasal 8

(1) Tes pasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dilakukan hanya untuk jangka waktu tertentu.

(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh masing-masing instansi teknis pembina berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 9

Barang industri tertentu yang diimpor sebagai barang komplementer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) harus memenuhi kriteria sebagai berikut:

Pasal 10

(1) lmpor barang industri tertentu sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 6 hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pernillk API-P yang telah ditetapkan sebagai Produsen Importir,

(2) Jumlah, jenis, dan Pos Tarif/HS barang industri tertentu serta jangka waktu importasi ditentukan berdasarkan rekomendasi dari instansi teknis pembina di tingkat pusat.

Pasal 11

(1) Untuk memperoleh penetapan sebagai Produsen Importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, perusahaan pemilik API-P harus mengajukan permohonan tertulis kepada Menteri dalam hal ini Direktur Jenderal dengan melampirkan:

(2) Direktur Jenderal untuk dan atas nama Menteri menerbitkan penetapan sebagai Produsen Importir paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.

Pasal 12

Produsen Importir yang mengimpor barang industri tertentu untuk tujuan tes pasar atau sebagai barang komplementer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 9 tetap tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 13

(1) Terhadap perusahaan pemilik API-P yang telah ditetapkan sebagai Produsen importir, apabila diperlukan, dapat dilakukan penilaian kepatuhan (post audit) oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan mengenai:

(2) Penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri, Kementerian Perdagangan bersama-sama dengan instansi teknis terkait.

(3) Petunjuk pelaksanaan penilaian kepatuhan (post audit) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 14

(1) Setiap importir hanya dapat memiliki 1 (satu) jenis API.

(2) API berlaku untuk setiap kegiatan impor di seluruh wilayah Indonesia.

(3) API berlaku untuk kantor pusat dan seluruh kantor cabangnya yang memiliki kegiatan usaha sejenis.

Pasal 15

(1) API berlaku selama importir masih menjalankan kegiatan usahanya.

(2) Importir pemilik API wajib melakukan pendaftaran ulang di instansi penerbit setiap 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan.

(3) Pendaftaran ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja setelah masa 5 (lima) tahun.

Pasal 16

(1) Importir pemilik API dalam melakukan impor tunduk pada ketentuan:

(2) Pemilikan API oleh importir tidak melepaskan kewajiban yang harus dipenuhi oleh importir berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang impor.

Pasal 17

(1) Kewenangan penerbitan API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 berada pada Menteri.

(2) Menteri dapat melimpahkan atau mendelegasikan kewenangan penerbitan API kepada:

Pasal 18

(1) Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Kepala BKPM, untuk perusahaan penanaman modal yang izin usahanya diterbitkan oleh BKPM.

(2) Kepala BKPM dapat mendelegasikan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada pejabat eselon 1 yang membidangi pelayanan penanaman modal dan/atau pejabat eselon 2 yang membidangi pelayanan perizinan di BKPM.

(3) Penerbitan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani untuk dan atas nama Menteri.

Pasal 19

(1) Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b kepada Direktur Jenderal, untuk badan usaha atau kontraktor di bidang energi, minyak dan gas bumi, mineral serta pengelolaan sumber daya alam Iainnya yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian kontrak kerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia.

(2) Penerbitan API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani untuk dan atas nama Menteri.

Pasal 20

(1) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Kepala Dinas Provinsi.

(2) Penerbitan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk perusahaan selain penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan perusahaan selain badan usaha atau kontraktor sebagaimana dimaksud daIam Pasal 19 ayat (1).

(3) Penerbitan API-U dan AIP-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani untuk dan atas nama Menteri.

(4) Dalam hal penerbitan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu atau bentuk pelayanan lain, pelaksanaannya berkoordinasi dengan Dinas Provinsi dan Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan untuk penerapan program aplikasi penerbitan API.

Pasal 21

(1) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 kepada Kepala Badan Pengusahaan untuk perusahaan, badan usaha atau kontraktor yang didirikan dan berdomisili di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

(2) Ketentuan mengenai tata cara permohonan dan persyaratan API, penerbitan API, pelaporan realisasi impor perusahaan pemilik API, perubahan data API, dan sanksi diatur tersendiri oleh Ketua Dewan Kawasan setelah berkoordinasi dengan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri dan mengacu kepada Peraturan Menteri ini.

(3) Pelimpahan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditarik kembali sebagian atau seluruhnya oleh Menteri apabila:

Pasal 22

(1) Perusahaan di bidang penanaman modal yang akan mengajukan permohonan untuk memperoleh API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, harus mengisi formulir isian sebagaimana yang tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini kepada Kepala BKPM, dengan melampirkan:

(2) Badan usaha atau kontraktor di bidang energi, minyak dan gas bumi, mineral serta pengelolaan sumber daya alam Iainnya yang melakukan kegiatan usaha, berdasarkan perjanjian kontrak kerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia, yang akan mengajukan permohonan untuk memperoleh API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b, harus mengisi formulir isian sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan Peraturan Menteri ini kepada Direktur Jenderal dalam hal ini Direktur lmpor, dengan melampirkan:

(3) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) yang akan mengajukan permohonan untuk memperoleh API-U, harus mengisi formulir isian sebagaimana tercantum dalam Lampiran IV yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan Peraturan Menteri ini kepada Kepala Dinas Provinsi dan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan:

(4) Perusahaan sebagaimana dimaksud dalarn Pasal 20 ayat (2) yang akan mengajukan permohonan untuk memperoleh API-P, harus mengisi formulir isian sebagaimana tercantum dalam Lampiran V yang merupakan bagian tidak terpisahkan dan Peraturan Menteri ini kepada Kepala Dinas Provinsi dan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota setempat dengan melampirkan:

(5) Penyampaian permohonan dan/atau tembusan sebagaimana dimaksud pads ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) dapat dilakukan:

Pasal 23

(1) Kepala BKPM dapat menerbitkan atau menolak menerbitkan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1).

(2) Ketentuan Iebih lanjut mengenai penerbitan atau penolakan penerbitan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Kepala BKPM.

Pasal 24

(1) Direktur Jenderal menerbitkan API-P paling lama 5 (Iima) hari kerja sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) secara Iengkap dan benar.

(2) Dalam hal permohonan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) belum Iengkap dan benar, Direktur Jenderal menyampaikan surat penolakan permohonan kepada pemohon paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan disertai alasan penolakan.

Pasal 25

(1) Kepala Dinas Kabupaten/Kota, berdasarkan tembusan permohonan API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan ayat (4) melakukan pemeriksaan di lapangan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak tembusan permohonan API diterima.

(2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diselesaikan pada waktunya, Kepala Dinas Propinsi dapat melakukan pemeriksaan di lapangan yang diselesaikan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan diterima.

(3) Hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).

(4) Kepala Dinas Kabupaten/Kota menyampaikan BAP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Kepala Dinas Provinsi paling lama 2 (dua) hari kerja sejak BAP ditandatangani.

Pasal 26

(1) Kepala Dinas Provinsi menerbitkan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan ayat (4) paling lama 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya BAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) secara Iengkap dan benar.

(2) Kepala Dinas Provinsi menyampaikan tembusan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Impor dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota pembuat BAP.

(3) Dalam hal permohonan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan ayat (4) belum lengkap dan benar, Kepala Dinas Provinsi menyampaikan surat penolakan permohonan kepada pemohon paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterima BAP dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota pembuat BAP disertai alasan penolakan.

Pasal 27

(1) Bentuk API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 tercantum dalam Lampiran VI, Lampiran VII, Lampiran VIII, Lampiran IX, Lampiran X yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

(2) API-U berwarna biru muda dan API-P berwarna hijau muda dengan logo Kementerian Perdagangan.

Pasal 28

(1) Setiap API-U dan API-P yang diterbitkan diberi nomor yang terdiri dari (sembilan) digit diikuti dengan huruf B, huruf D, atau huruf P.

(2) 9 (sembilan) digit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

(3) Dalam hal terjadi perubahan terhadap jumlah wilayah sehingga menyebabkan terjadinya perubahan nomor kode propinsi dan nomor kode kabupaten/kota, maka nomor kode yang baru ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

(4) Contoh penomoran kode Provinsi, Kabupaten/Kota sebagaimana tercantum dalam Lampiran XII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 29

(1) Perusahaan pemilik API-P yang telah ditetapkan sebagai Produsen Importir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) wajib melaporkan realisasi impor baik dalam hal terealisasi atau tidak terealisasi sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Direktur Jenderal.

(2) Perusahaan pemilik API-U atau API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) wajib melaporkan realisasi impor baik dalam hal terealisasi atau tidak terealisasi, sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Kepala BKPM.

(3) Perusahaan pemilik API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) wajib melaporkan realisasi impor baik dalam hal terealisasi atan tidak terealisasi sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Direktur Jenderal.

(4) Perusahaan pemilik API-U atau API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dan ayat (4) Wajib melaporkan realisasi impor baik dalam hal terealisasi atau tidak terealisasi, sekali dalam 3 (tiga) bulan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kabupaten/kota di mana perusahaan berdomisili.

(5) Kepala BKPM, Kepala Dinas Provinsi, dan Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan rekapitulasi realisasi impor masing-masing perusahaan pemilik API-U dan API-P secara periodik setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Menteri.

Pasal 30

Kepala BKPM, Kepala Dinas Provinsi, dan Kepala Badan Pengusahaan menyampaikan laporan rekapitulasi penerbitan API-U dan API-P secara periodik setiap 3 (tiga) bulan sekali kepada Menteri.

Pasal 31

(1) Perusahaan pemilik API-U atau API-P wajib melaporkan setiap perubahan yang terkait dengan data API-U atau API-P paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak terjadi perubahan kepada instansi penerbit API, dengan tembusan kepada Direktur Impor dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota di lokasi perusahaan berdomisili.

(2) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

(3) Setiap terjadi perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perusahaan pemilik API-U atau API-P wajib mengajukan permohonan perubahan API-U atau API-P dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIII yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini dengan melampirkan:

(4) Instansi penerbit menerbitkan API-U atau API-P perubahan paling Iama 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diterimanya permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) secara lengkap dan benar.

Pasal 32

Impor dapat dilaksanakan tanpa API untuk:

Pasal 33

(1) Impor tanpa API sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 hanya dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan impor dari Direktur Impor Kementerian Perdagangan.

(2) Dalam hal impor tanpa API untuk barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 huruf k, huruf l, dan huruf m, pelaksanaannya dilakukan tanpa persetujuan impor.

Pasal 34

Perusahaan pemilik API atau perusahaan yang memperoleh persetujuan impor tanpa API bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan impor sesuai dengan API atau persetujuan impor tanpa API yang dimilikinya.

Pasal 35

API dibekukan apabila perusahaan pemilik API dan/atau Pengurus/Direksi perusahaan pemilik API:

Pasal 36

API yang telah dibekukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, dapat diaktifkan kembali apabila:

Pasal 37

API dicabut apabila perusahaan pemilik API dan/atau Pengurus/Direksi perusahaan pemilik API:

Pasal 38

(1) Penetapan sebagai Produsen Importir dicabut, jika:

(2) Terhadap perusahaan pemilik API-P yang dikenakan sanksi pencabutan penetapan sebagai Produsen Importir dapat ditetapkan kembali, jika:

(3) Terhadap perusahaan pemilik API-P yang dikenakan sanksi pencabutan penetapan sebagai Produsen Importir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dapat ditetapkan kembali sebagai Produsen Importir setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pencabutan penetapan.

(4) Untuk dapat ditetapkan kembali sebagai Produsen Importir, perusahaan pemilik API-P harus mengajukan permohonan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1).

Pasal 39

(1) Dalam hal API dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf a, huruf b, dan/atau huruf c, perusahaan hanya dapat mengajukan permohonan API baru setelah 1 (satu) tahun sejak tanggal pencabutan API.

(2) Dalam hal API dicabut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf d, huruf e, huruf f, huruf g dan/atau huruf h, perusahaan hanya dapat mengajukan permohonan API baru setelah 2 (dua) tahun sejak tanggal pencabutan API.

Pasal 40

Perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 harus mengajukan permohonan dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 dan mengembaIikan API asli yang telah dicabut.

Pasal 41

(1) Pembekuan, pengaktifan kembali, dan pencabutan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37, dilakukan atas nama Menteri oleh:

(2) Kepala BKPM menyampaikan surat pemberitahuan pembekuan, pengaktifan kembali dan pencabutan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 kepada perusahaan yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kepala Dinas Provinsi, Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan Kepala PDPPM Kabupaten/Kota di lokasi perusahaan berdomisili.

(3) Direktur Jenderal menyampaikan surat pemberitahuan pembekuan, pengaktifan kembali atau pencabutan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 kepada perusahaan yang bersangkutan dengan tembusan kepada Menteri, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Kepala Dinas Provinsi, Kepala Dinas Kabupaten/Kota dan Kepala PDPPM Kabupaten/Kota di lokasi perusahaan berdomisili.

(4) Kepala Dinas Provinsi menyampaikan surat pemberitahuan pembekuan, pengaktifan kembali dan pencabutan API-U dan API-P sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35, Pasal 36, dan Pasal 37 kepada perusahaan yang bersangkutan dengan tembusan kepada Direktur Impor, Direktur Jenderal Bea dan Cukai, dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota di lokasi perusahaan berdomisili.

Pasal 42

API-U dan API-P yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/PER/9/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/7/2011, wajib disesuaikan dengan Peraturan Menteri ini paling lambat tanggal 31 Desember 2012.

Pasal 43

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

Pasal 44

Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 45

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 2 Mei 2012.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 1 Mei 2012
MENTERI PERDAGANGAN R.I.,
ttd,
GITA IRAWAN WIRJAWAN

Lampiran