to English

PERATURAN MENTERI KEUANGAN
NOMOR 200/PMK.04/2011

TENTANG
AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.04/2007 tentang Audit Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 148/PMK.04/2009, telah diatur ketentuan mengenai audit kepabeanan terhadap importir, eksportir, pengusaha tempat penimbunan sementara, pengusaha tempat penimbunan berikat, pengusaha pengurusan jasa kepabeanan, atau pengusaha pengangkutan;

b. bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.04/2008 tentang Audit Cukai, telah diatur ketentuan mengenai audit cukai terhadap pengusaha pabrik, pengusaha tempat penyimpanan, importir barang kena cukai, penyalur, dan pengguna barang kena cukai yang mendapatkan fasilitas pembebasan cukai;

c. bahwa dalam rangka penyederhanaan ketentuan mengenai audit, perlu dilakukan penggabungan terhadap ketentuan mengenai audit kepabeanan dan ketentuan mengenai audit cukai;

d. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 86 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 dan Pasal 39 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007, perlu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Audit Kepabeanan dan Audit Cukai;

Mengingat:

1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3613) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 105, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4755);

3. Keputusan Presiden Nomor 56/P Tahun 2010;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN MENTERI KEUANGAN TENTANG AUDIT KEPABEANAN DAN AUDIT CUKAI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Undang-Undang Kepabeanan adalah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006.

2. Undang-Undang Cukai adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007.

3. Audit Kepabeanan adalah kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan, dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan.

4. Audit Cukai adalah serangkaian kegiatan pemeriksaan laporan keuangan, buku, catatan dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang cukai dan/atau sediaan barang dalam rangka pelaksanaan ketentuan perundang-undangan di bidang cukai.

5. Orang adalah orang perseorangan atau badan hukum.

6. Pejabat Bea dan Cukai adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang ditunjuk dalam jabatan tertentu untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Kepabeanan dan/atau Undang-Undang Cukai.

7. Auditee adalah Orang yang diaudit oleh Tim Audit.

8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Bea dan Cukai.

9. Audit Umum adalah Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan secara lengkap dan menyeluruh terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai.

10. Audit Khusus adalah Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang memiliki ruang lingkup pemeriksaan tertentu terhadap pemenuhan kewajiban kepabeanan dan/atau cukai.

11. Audit Investigasi adalah Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai dalam rangka membantu proses penyelidikan dalam hal terdapat dugaan tindak pidana kepabeanan dan/atau cukai.

12. Tim Audit adalah tim yang diberi tugas untuk melaksanakan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai berdasarkan surat tugas atau surat perintah dari Direktur Jenderal.

13. Daftar Temuan Sementara yang selanjutnya disingkat DTS adalah daftar yang memuat temuan dan kesimpulan sementara atas hasil pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

14. Laporan Hasil Audit yang selanjutnya disingkat LHA adalah laporan pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang disusun oleh Tim Audit sesuai dengan ruang lingkup dan tujuan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

15. Auditor adalah pegawai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai auditor yang diberi tugas, wewenang dan tanggung jawab untuk melaksanakan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

16. Ketua Auditor adalah Auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai Ketua Auditor Bea dan Cukai.

17. Pengendali Teknis Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang selanjutnya disebut PTA adalah Auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai Pengendali Teknis Audit Bea dan Cukai.

18. Pengawas Mutu Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang selanjutnya disebut PMA adalah Auditor yang telah memperoleh sertifikat keahlian sebagai Pengawas Mutu Audit Bea dan Cukai.

19. Data Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang selanjutnya disebut Data Audit adalah laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen yang menjadi bukti dasar pembukuan, surat yang berkaitan dengan kegiatan usaha termasuk data elektronik, serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.

20. Data Elektronik adalah informasi atau rangkaian informasi yang disusun dan/atau dihimpun untuk kegunaan khusus yang diterima, direkam, dikirim, disimpan, diproses, diambil kembali, atau diproduksi secara elektronik dengan menggunakan komputer atau perangkat pengolah data elektronik, optikal, atau cara lain yang sejenis.

21. Pekerjaan Lapangan adalah pekerjaan dalam rangka Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang dilakukan di tempat Auditee yang dapat meliputi kantor, pabrik, tempat usaha, atau tempat lain, yang diketahui ada kaitannya dengan kegiatan usaha Auditee.

22. Pekerjaan Kantor adalah pekerjaan dalam rangka Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang dilakukan di Kantor Pejabat Bea dan Cukai.

23. Sediaan Barang adalah semua barang yang terkait dengan kewajiban di bidang kepabeanan dan/atau cukai.

24. Tindakan Pengamanan adalah tindakan penyegelan yang dilakukan untuk menjamin laporan keuangan, buku, catatan, dan dokumen, yang menjadi bukti dasar pembukuan, dan dokumen lain yang berkaitan dengan kegiatan usaha, termasuk data elektronik serta surat yang berkaitan dengan kegiatan di bidang kepabeanan dan/atau cukai, dan barang yang penting agar tidak dihilangkan, tidak berubah atau tidak berpindah tempat atau ruangan sampai pemeriksaan dapat dilanjutkan dan/atau dilakukan tindakan lain yang dibenarkan oleh ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai dengan tetap mempertimbangkan kelangsungan kegiatan usaha.

25. Pembahasan Akhir adalah kegiatan pembahasan yang dilakukan antara Tim Audit dan Auditee atas DTS.

26. Berita Acara Hasil Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang selanjutnya disebut BAHA adalah berita acara yang dibuat oleh Tim Audit atas hasil pembahasan akhir hasil Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

Pasal 2

Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai dilakukan terhadap Orang yang bertindak sebagai:

Pasal 3

Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai bertujuan untuk menguji tingkat kepatuhan Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 atas pelaksanaan pemenuhan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai.

Pasal 4

Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai terdiri dari Audit Umum, Audit Khusus, dan Audit Investigasi.

Pasal 5

(1) Audit Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan secara terencana atau sewaktu-waktu.

(2) Audit Khusus dan Audit Investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilakukan sewaktu-waktu.

Pasal 6

(1) Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang dilakukan secara terencana dilaksanakan secara selektif berdasarkan manajemen resiko.

(2) Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang dilakukan sewaktu-waktu, dilaksanakan berdasarkan skala prioritas.

Pasal 7

(1) Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dilaksanakan oleh Tim Audit.

(2) Susunan keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:

(3) Susunan keanggotaan Tim Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditambah dengan:

Pasal 8

(1) PMA, PTA, Ketua Auditor, Auditor, Pejabat Bea dan Cukai dan/atau pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dan ayat (3) dalam Tim Audit, dapat diganti jika yang bersangkutan dialihtugaskan, dianggap tidak mampu, atau atas permintaan sendiri.

(2) Jumlah anggota Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf d dan ayat (3) dapat ditambah, dalam hal diperlukan untuk mengoptimalkan pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

Pasal 9

(1) Anggota Tim Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) harus memiliki sertifikat keahlian sesuai dengan jenjang penugasannya sebagai PMA, PTA, Ketua Auditor, atau Auditor.

(2) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 10

(1) Audit Umum dan Audit Khusus dilaksanakan berdasarkan surat tugas dari Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk.

(2) Audit Investigasi dilaksanakan berdasarkan surat perintah dari Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk.

Pasal 11

(1) Setiap penerbitan surat tugas harus diikuti dengan penerbitan daftar kuesioner untuk Auditee.

(2) Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diisi oleh Auditee dan disampaikan kepada Direktur Jenderal dalam amplop tertutup.

(3) Daftar kuesioner sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan oleh Direktur Jenderal untuk menilai kinerja Tim Audit dan sistem audit.

Pasal 12

(1) Periode Audit Umum ditetapkan selama 2 (dua) tahun sampai dengan akhir bulan sebelum penerbitan surat tugas.

(2) Periode Audit Khusus dan Audit Investigasi ditetapkan sesuai kebutuhan.

(3) Dalam hal periode Audit Umum kurang dari 2 (dua) tahun, periode Audit Umum dimulai sejak akhir periode Audit Umum sebelumnya atau sejak Auditee melakukan kegiatan kepabeanan dan/atau cukai sampai dengan akhir bulan sebelum penerbitan surat tugas.

(4) Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk, dapat memperpanjang periode Audit Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 13

Sebelum pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai, Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dapat memberikan penjelasan tentang pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai kepada Auditee.

Pasal 14

Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai dapat dilaksanakan secara bersama-sama dengan instansi lain.

Pasal 15

Dalam melaksanakan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai, Tim Audit harus berpedoman pada Standar Audit Kepabeanan dan Audit Cukai.

Pasal 16

Dalam melaksanakan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai, Tim Audit berwenang:

Pasal 17

Dalam melaksanakan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai, Tim Audit harus:

Pasal 18

(1) Untuk kepentingan pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai, Auditee wajib:

(2) Dalam hal pimpinan Auditee tidak berada di tempat atau berhalangan, kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beralih kepada yang mewakilinya.

(3) Dalam hal kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan oleh pimpinan Auditee atau yang mewakili sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terhadap Auditee dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dibidang kepabeanan dan/atau cukai.

Pasal 19

(1) Pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan terhitung sejak tanggal penugasan sebagaimana tercantum dalam surat tugas atau surat perintah.

(2) Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dapat memperpanjang jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

Pasal 20

(1) Tim Audit dapat melakukan pencacahan fisik Sediaan Barang dalam pelaksanaan Pekerjaan Lapangan.

(2) Sebelum pelaksanaan pencacahan fisik terhadap Sediaan Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit memberitahukan secara tertulis mengenai rencana pelaksanaan pencacahan fisik kepada Auditee.

(3) Ketentuan mengenai pemberitahuan secara tertulis rencana pelaksanaan pencacahan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak berlaku untuk Audit Investigasi.

(4) Dalam hal pelaksanaan pencacahan fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan peralatan dan/atau keahlian khusus, Auditee wajib menyediakan peralatan dan/atau tenaga ahli tersebut.

Pasal 21

(1) Permintaan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf a dilakukan secara tertulis.

(2) Berdasarkan permintaan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Auditee wajib menyerahkan Data Audit secara lengkap.

(3) Terhadap penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku ketentuan sebagai berikut:

Pasal 22

(1) Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf a, kepada Auditee diberikan surat peringatan I.

(2) Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap setelah 3 (tiga) hari kerja sejak surat peringatan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima, kepada Auditee diberikan surat peringatan II.

(3) Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap setelah 3 (tiga) hari kerja sejak surat peringatan II sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterima sehingga menyebabkan Pejabat Bea dan Cukai tidak dapat menjalankan kewenangan untuk melakukan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai, Auditee dianggap menolak membantu kelancaran Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

(4) Dalam hal pimpinan Auditee atau yang mewakili menolak untuk membantu kelancaran Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pimpinan Auditee atau yang mewakilinya harus menandatangani surat pernyataan penolakan.

(5) Dalam hal pimpinan Auditee atau yang mewakili menolak untuk menandatangani surat pernyataan penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Tim Audit harus membuat berita acara.

Pasal 23

(1) Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf b, Tim Audit menyusun LHA berdasarkan data yang diperoleh.

(2) Dalam hal Auditee tidak bersedia atau tidak menyerahkan Data Audit secara lengkap sesuai batas waktu penyerahan Data Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (3) huruf c, Tim Audit dapat melakukan Tindakan Pengamanan dan/atau penindakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang kepabeanan dan/atau cukai berupa:

Pasal 24

Tindakan Pengamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf d dapat dilakukan dalam hal:

Pasal 25

(1) Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk dapat menghentikan pelaksanaan Audit dalam hal:

(2) Dalam hal pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai dihentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Tim Audit menyusun LHA.

(3) Terhadap Auditee yang dilakukan penghentian Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat direkomendasikan untuk ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 26

(1) Berdasarkan pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3), Tim Audit menyusun DTS.

(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam hal:

(3) DTS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh Tim Audit kepada Auditee untuk diberikan tanggapan.

(4) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berupa:

(5) Tanggapan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh Auditee kepada Tim Audit dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya DTS, dan jangka waktu tersebut dapat diperpanjang 1 (satu) kali paling lama 7 (tujuh) hari kerja.

(6) Dalam hal Auditee tidak memberikan tanggapan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Auditee dianggap menyetujui temuan dalam DTS.

Pasal 27

Dalam hal Auditee menerima seluruh temuan hasil Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai dalam DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf a, Auditee menandatangani Lembar Persetujuan DTS.

Pasal 28

(1) Dalam hal Auditee menolak sebagian atau seluruh temuan hasil Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai dalam DTS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4) huruf b dan huruf c, Tim Audit dan Auditee melakukan Pembahasan Akhir.

(2) Proses Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam Risalah Pembahasan Akhir.

(3) Risalah Pembahasan Akhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dirangkum dalam Hasil Pembahasan Akhir dan ditutup dengan BAHA.

(4) Auditee dianggap menerima seluruh temuan audit dalam DTS, dalam hal:

Pasal 29

(1) Hasil Pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai dituangkan dalam LHA.

(2) LHA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditandatangani oleh PMA, PTA, dan Ketua Auditor.

Pasal 30

(1) Tim Audit bertanggung jawab terhadap kesimpulan dan/atau rekomendasi Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai yang dituangkan dalam LHA dan disusun berdasarkan Data Audit yang telah diserahkan oleh Auditee pada saat pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

(2) Auditee bertanggung jawab terhadap kebenaran dan kelengkapan Data Audit yang telah diserahkan kepada Tim Audit pada saat pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

Pasal 31

(1) LHA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 digunakan sebagai dasar:

(2) Penetapan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan/atau penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dilakukan dalam hal terdapat kekurangan dan/atau kelebihan pembayaran bea masuk, cukai, bea keluar, pajak dalam rangka impor, dan/atau sanksi administrasi berupa denda.

Pasal 32

Terhadap LHA dilakukan evaluasi untuk menilai mutu pelaksanaan Audit Kepabeanan dan/atau Audit Cukai.

Pasal 33

Terhadap penetapan Direktur Jenderal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf a, penetapan Pejabat Bea dan Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf b, dan penerbitan surat tindak lanjut hasil Audit Cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) huruf d, dilakukan monitoring tindak lanjut.

Pasal 34

Ketentuan lebih lanjut mengenai:

Pasal 35

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

Pasal 36

Peraturan Menteri ini mulai berlaku setelah 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Desember 2011
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd,
AGUS D.W. MARTOWARDOJO