to English

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN
NOMOR 03/M-DAG/PER/1/2012

TENTANG
KETENTUAN IMPOR BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON (BPO)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa berdasarkan Konvensi Wina dan Montreal Protokol terdapat kewajiban kepada negara-negara pihak untuk menghapus penggunaan berbagai senyawa kimia yang merupakan Bahan Perusak Lapisan Ozon (BPO) secara bertahap, dan untuk itu diberikan kesempatan kepada negara-negara pihak, termasuk Indonesia, untuk dapat melaksanakan program penghapusan penggunaan BPO sampai batas waktu tertentu.

b. bahwa sementara Indonesia sedang menjalankan proses penghapusan penggunaan BPO, pada kenyataannya berbagai industri di Indonesia masih memerlukan berbagai senyawa kimia yang merupakan BPO sebagai bahan baku atau bahan penolong yang pengadaannya sebagian besar masih harus melalui impor dari negara-negara lain;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk lebih mengefektifkan pengawasan dan pengendalian pengadaan BPO di Indonesia dipandang perlu untuk mengatur kembali ketentuan impor BPO;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan;

Mengingat:

1. Bedrijfsreglementerings Ordonnantie 1934 (Staatsblad 1938 Nomor 86);

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274);

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564);

4. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661);

5. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821);

6. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916);

7. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059);

8. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

9. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1973 Nomor 12);

10. Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 138);

11. Keputusan Presiden Nomor 260 Tahun 1967 tentang Penegasan Tugas dan Tanggung Jawab Menteri Perdagangan dalam Bidang Perdagangan Luar Negeri;

12. Keputusan Presiden Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Vienna Convention for the Protection of the Ozone Layer dan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer as Adjusted and Amended by the Second Meeting of the Parties London, 27-29 June 1990;

13. Keputusan Presiden Nomor 92 Tahun 1998 tentang Pengesahan Montreal Protocol on Substances that Deplete the Ozone Layer, Copenhagen, 1992 (Protokol Montreal tentang Zat-zat yang Merusak Lapisan Ozon, Copenhagen, 1992);

14. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009 tentang Pembentukan Kabinet Indonesia Bersatu II sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 59/P Tahun 2011;

15. Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011;

16. Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas dan Fungsi Eselon I Kementerian Negara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2010;

17. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 45/M-DAG/PER/9/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20/M-DAG/PER/7/2011;

18. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54/M-DAG/PER/10/2009 tentang Ketentuan Umum Di Bidang Impor;

19. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31/M-DAG/PER/7/2010 tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan;

MEMUTUSKAN:

Menetapkan:

PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN IMPOR BAHAN PERUSAK LAPISAN OZON.

Pasal 1

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:

1. Bahan Perusak lapisan Ozon, yang selanjutnya disebut BPO adalah senyawa kimia yang berpotensi dapat bereaksi dengan molekul ozon di lapisan stratosfir.

2. Importir Produsen Bahan Perusak lapisan Ozon, yang selanjutnya disebut IP-BPO, adalah perusahaan industri manufaktur yang menggunakan BPO sebagai bahan baku atau bahan penolong pada proses produksi sendiri.

3. Importir Terdaftar Bahan Perusak lapisan Ozon, yang selanjutnya disebut IT-BPO, adalah perusahaan perdagangan yang mendapat penetapan dari pemerintah untuk mengimpor dan mendistribusikan BPO.

4. Rekomendasi adalah surat yang diterbitkan oleh instansi/unit terkait yang berwenang, berisi penjelasan secara teknis dan bukan merupakan izin/persetujuan impor.

5. Verifikasi atau penelusuran teknis adalah kegiatan pemeriksaan teknis atas produk impor yang dilakukan di pelabuhan muat barang oleh surveyor.

6. Surveyor adalah perusahaan survey yang mendapat otorisasi untuk melakukan verifikasi atau penelusuran teknis produk impor.

7. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang perdagangan

8. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerial Perdagangan.

9. Direktur Jenderal BIM adalah Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur, Kementerian Perindustrian.

10. Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim adalah Deputi yang membidangi upaya perlindungan lapisan ozon Kementerian Lingkungan Hidup.

Pasal 2

BPO sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini dilarang untuk diimpor.

Pasal 3

(1) BPO sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri ini hanya dapat diimpor oleh perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP-BPO atau penetapan sebagai IT-BPO.

(2) Setiap pelaksanaan impor BPO jenis metil bromida wajib disertai label tambahan yang bertuliskan “Hanya untuk Karantina dan Pra Pengapalan” atau “For Quarantine and Pre-Shipment Only” dari negara produsen.

Pasal 4

(1) Impor BPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) hanya dapat dilakukan melalui pelabuhan-pelabuhan sebagai berikut:

(2) Impor BPO melalui pelabuhan Batu Ampar, Batam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g hanya dapat dilakukan oleh IP-BPO.

Pasal 5

Jumlah BPO yang dapat diimpor oleh IP-BPO dan IT-BPO ditetapkan dengan berpedoman pada volume BPO yang boleh digunakan secara nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

Pasal 6

(1) Untuk mendapat pengakuan sebagai IP-BPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), perusahaan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen:

(2) Atas permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan pengakuan sebagai IP-BPO paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.

(3) Pengakuan sebagai IP-BPO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diterbitkan dengan memperhatikan kapasitas dan rencana produksi selama 1 (satu) tahun.

(4) Dalam hal permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap dan benar, Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.

(5) Pengakuan sebagai IP-BPO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat pelabuhan tujuan, jumlah dan jenis BPO, serta Pos Tariff/HS yang dapat diimpor oleh IP-BPO beserta ketentuan teknis pelaksanaan importasinya.

(6) Pengakuan sebagai IP-BPO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 1 (satu) tahun.

Pasal 7

Perusahaan yang telah mendapat pengakuan sebagai IP-BPO hanya dapat mengimpor BPO untuk kebutuhan proses produksi industri yang dimilikinya dan dilarang memperdagangkan dan/atau memindahtangankan.

Pasal 8

(1) Untuk mendapatkan penetapan sebagai IT-BPO sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1), perusahaan harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen:

(2) Atas permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan penetapan sebagai IP-BPO paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.

(3) Dalam hal permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak lengkap dan benar, Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.

(4) Penetapan sebagai IT-BPO sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku selama 1 (satu) tahun.

Pasal 9

Perusahaan yang telah mendapat penetapan sebagai IT-BPO hanya dapat mengimpor BPO untuk didistribusikan kepada industri pengguna akhir.

Pasal 10

Setiap pelaksanaan impor BPO oleh IT-BPO harus mendapat persetujuan impor BPO dari Direktur Jenderal.

Pasal 11

(1) Untuk mendapat persetujuan impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, IT-BPO harus mengajukan permohonan tertulis kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen sebagai berikut:

(2) Atas permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan persetujuan impor BPO paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar.

(3) Dalam hal permohonan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak lengkap dan benar, Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima.

(4) Persetujuan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat jumlah dan jenis BPO, Pos Tarif/HS, pelabuhan tujuan, negara asal barang, dan masa berlaku persetujuan impornya.

(5) Masa berlaku persetujuan impor sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diberikan paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 12

(1) Setiap pelaksanaan impor BPO oleh IP-BPO dan IT-BPO harus dilakukan verifikasi atau penelusuran teknis di pelabuhan muat negara asal BPO.

(2) Pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Surveyor yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 13

Untuk dapat ditetapkan sebagai pelaksana verifikasi atau penelusuran teknis, Surveyor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

Pasal 14

(1) Verifikasi atau penelusuran teknis oleh Surveyor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2) meliputi penelitian dan pemeriksaan terhadap data atau keterangan paling sedikit mengenai:

(2) Surveyor memberikan tanda pemeriksaan sebagai hasil verifikasi atau penelusuran teknis impor dalam bentuk segel pada kemasan angkutan jenis Full Container Load (FCL) atau tanda pemeriksaan surveyor dalam bentuk label pada barang atau kemasan angkutan jenis lain.

(3) Hasil verifikasi atau penelusuran teknis yang telah dilakukan oleh Surveyor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) untuk digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor.

(4) Atas pelaksanaan verifikasi atau penelusuran teknis impor BPO yang dilakukannya, Surveyor memungut imbalan jasa yang diberikan dari IT-BPO atau IP-BPO yang besarannya ditentukan dengan memperhatikan azas manfaat.

Pasal 15

(1) IP-BPO dan IT-BPO wajib menyampaikan laporan tertulis setiap 1 (satu) bulan sekali paling lambat pada tanggal 15 bulan berikutnya baik merealisasikan maupun tidak merealisasikan impor BPO, kepada Direktur Jendral dengan tembusan disampaikan kepada:

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui http://inatrade.kemendag.go.id.

Pasal 16

Surveyor wajib menyampaikan rekapitulasi hasil pemeriksaan atau penelusuran teknis impor BPO oleh IP-BPO dan IT-BPO setiap 3 (tiga) bulan kepada Direktur Jenderal.

Pasal 17

(1) Pengakuan sebagai IP-BPO atau penetapan sebagai IT-BPO dicabut apabila:

(2) Pencabutan pengakuan sebagai IP-BPO atau penetapan sebagai IT-BPO sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

(3) IP-BPO dan IT-BPO yang dikenai sanksi pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh pengakuan sebagai IP-BPO dan IT-BPO kembali setelah 1 (satu) tahun dan harus mendapat rekomendasi pengaktifan kembali dari Deputi Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup.

Pasal 18

(1) Pelanggaran oleh Surveyor terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dikenai sanksi administratif berupa pencabutan penetapan Surveyor.

(2) Pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dalam tenggang waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari.

Pasal 19

BPO yang diimpor tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan ini harus dire-ekspor atau dimusnahkan atas biaya perusahaan yang bersangkutan.

Pasal 20

Ketentuan lebih lanjut dari Peraturan Menteri ini dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

Pasal 21

(1) LS sebagai dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) mulai berlaku 60 (enam puluh) hari sejak diberlakukan Peraturan Menteri ini.

(2) LS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan dokumen pabean berupa manifest (BC.1.1).

Pasal 22

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:

1. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Ozon (BPO) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/10/2010; dan

2. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida Untuk Keperluan Karantina dan Pra Pengapalan;

dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 23

Pengakuan sebagai IP-BPO, penetapan sebagai IT-BPO dan Persetujuan Impor BPO yang telah diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 24/M-DAG/PER/6/2006 tentang Ketentuan Impor Bahan Perusak Ozon (BPO) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 38/M-DAG/PER/10/2010, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 51/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Metil Bromida Untuk Keperluan Karantina dan Pra Pengapalan dinyatakn tetap berlaku sampai dengan berakhirnya masa berlaku IP-BPO, IT-BPO, dan Persetujuan Impor BPO dimaksud.

Pasal 24

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal 15 Januari 2012.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 Januari 2012
MENTERI PERDAGANGAN R.I
ttd.
GITA IRAWAN WIRJAWAN