Teks tidak dalam format asli.
Kembali


TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI

No. 3193(Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 11)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 1981
TENTANG
METROLOGI LEGAL

UMUM

Permasalahan mengenai segala sesuatu dalam ukur-mengukur, takar-menakar dan timbang-menimbang secara luas yang lazim disebut permasalahan "metrologi" mencakup semua teori maupun praktek yang berhubungan dengan pengukuran yaitu macamnya, sifatnya, kesaksamaan dan kebenarannya.
Metrologi yang berhubungan dengan satuan-satuan ukuran, cara-cara atau metoda pengukuran dan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya dan syarat-syarat teknik serta peraturan-peraturan pelengkap yang ditetapkan dalam atau berdasarkan Undang-undang yang bertujuan untuk dan kebenaran pengukuran disebut "metrologi legal" (legal metrology atau metrologie legale).
Pengaturan tentang metrologi menjadi semakin penting karena tertib ukur, di segala bidang menyangkut juga segi keamanan bagi manusia sendiri, antara lain:
- dosis obat-obatan, panyinaran, suntikan;
- pengukuran tekanan darah, suhu manusia, suara polusi;
- pengukuran dalam navigasi dan lain sebagainya.
Selain itu tertib ukur juga meliputi usaha penyeragaman Sistem Satuan dalam ukuran, takaran, timbangan dan perlengkapannya dengan menggunakan satuan Sistem Internasional (SI) yang juga disebut Sistem Metrik Modern.
Usaha penyeragaman itu di Indonesia sudah dilakukan sejak tahun 1923 secara bertahap. Dengan masa peralihan selama 10 (sepuluh) tahun, yang dalam pelaksanaannya adalah 15 (lima belas) tahun, maka di Indonesia sejak 1 Januari 1938 secara resmi berlaku Satuan Sistem Metrik dalam ukuran, takaran, timbangan dan perlengkapannyang menggantikan Satuan Sistem tradisional seperti elo, kati dan lain sebagainya.
Disadari bahwa ukuran traditional beserta alat-alatnya adalah terbatas penggunaannya dan secara bertahap masyarakat akan membiasakan diri dengan satuan ukuran seperti tercantum dalam Undang-undang ini. Dalam memasyarakatkan materi Undang-undang ini agar tercapai tertib ukur di segala bidang akan dilakukan dengan pendekatan yang persuasif dan edukatif.
Pada tanggal 20 Mei 1875 oleh utusan 17 (tujuh belas) Negara telah ditandatangani "Konvensi Meter" (la Convention du Metre) di Paris. Negara-negara lain kemudian menggabungkan diri dalam konvensi itu, sehingga sampai tahun 1980 pengikut Konvensi Meter telah bertambah menjadi 46 (empat puluh enam) negara, termasuk Indonesia yang menggabungkan diri pada Konvensi Meter itu dalam tahun 1960. Tujuan utama dari konvensi Meter adalah mencari dan menyeragamkan satuan-satuan ukuran dan timbangan.
Di dalam mencapai tujuannya, maka organisasi dari negara pengikut Konvensi Meter merupakan suatu Organisasi lnternasional untuk Ukuran dan Timbangan (la Organisation Internasionale des Poids et Mesures disingkat OIPM). Forum tertinggi dari OIPM adalah Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan (la Conference Generale des Poids et Mesures disingkat CGPM) yang membawahi langsung suatu Komite Internasional untuk Ukuran dan Timbangan (le Comite International des Poids et Mesures disingkat CIPM).
CIPM bertugas melaksanakan dan mempersiapkan keputusan-keputusan dari CGPM. Selain itu CIPM juga memimpin suatu aparat yang disebut Biro lnternasional untuk Ukuran dan Timbangan (le Bureau International des Poids et Mesures disingkat BIPM).
Oleh karena itu dipandang perlu adanya suatu pangaturan tentang Metrologi Legal.

PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Pengertian-pengertian dari istilah yang dipakai dalam Undang-undang ini dan Peraturan Pelaksanaannya ialah untuk menghindari dari kemungkinan salah tafsir. Menteri yang diserahi urusan Metrologi Legal pada saat Undang-undang ini dibuat adalah Menteri Perdagangan dan Koperasi.

Pasal 2
Sasaran yang akan dicapai adalah keseragaman dan kesatuan pegangan dalam penyebutan dan pemakaian satuan ukuran.

Pasal 3
Ayat (1)
Hingga kini ada tujuh satuan dasar dalam satuan Sistem Internasional (SI) yang telah diakui oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan.
Ayat (2)
Definisi yang berlaku pada saat Undang-undang ini dibuat adalah sebagaimana ditetapkan oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan:
1. meter berdasarkan Konperensi Umum ke 11 tahun 1960.
2. kilogram berdasarkan Konperensi Umum ke 3 tahun 1901.
3. sekon berdasarkan Konperensi Umum ke 13 tahun 1967.
4. amper berdasarkan Konperensi Umum ke 9 tahun 1948.
5. kelvin berdasarkan Konperensi Umum ke 13 tahun 1967.
6. kandela berdasarkan Konperensi Umum ke 13 tahun 1967.

Pasal 4
Ketujuh lambang satuan dari satuan-satuan dasar ini merupakan keputusan yang telah disetujui oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan.

Pasal 5
Ayat (1)
Untuk menyebutkan kelipatan dan bagian desimal digunakan awal kata dan lambang yang telah diakui dan ditetapkan oleh Konperensi Umum untuk Ukuran dan Timbangan.
Ayat (2)
Contoh:
a. 1.000 kg tidak boleh dinyatakan atau ditulis sama dengan 1 kkg (satu kilokilogram), tetapi 1 Mg (satu megagram).
b. 0,1 kg tidak boleh dinyatakan atau ditulis sama dengan 1 dkg (satu desikilogram), tetapi 1 hg (satu hektogram).

Pasal 6
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Mengingat pentingnya fungsi dari Standar Nasional tersebut maka perlu menetapkannya dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 9
Cukup jelas

Pasal 10
Turunan-turunan langsung dari standar satuan ditujukan untuk menghindari pemakaian tidak terbatas atas Standar Nasional dan sekurang-kurangnya satu dari Meter Standar dan Kilogram Standar yang setingkat lebih rendah, dari Standar Nasional diserahkan kepada instansi Pemerintah yang ditugasi dalam pembinaan Metrologi Legal untuk kepentingan umum.

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Jenis-jenis alat ukur, alat-takar, alat timbang dan perlengkapannya antara lain ialah meter air, meter gas, meter listrik, meter taxi, meter pulsa telpon, alat pengukur kelembaban (moisture tester) perlu ditunjuk tempat-tempat dan daerah-daerah di mana dilaksanakan tera dan tera ulang.

Pasal 14
Ayat (1)
Alat-alat ukur. takar, timbang dan perlengkapannya yang tidak memenuhi syarat-syarat sehingga tidak dapat diperbaiki lagi, perlu dirusak untuk menghindari kemungkinan, alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya tersebut dipakai atau dijual sehingga akan merugikan orang lain.
Ayat (2)
Oleh karena tata cara pengrusakan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang menyangkut pelaksanaan teknis dan khusus maka pengaturannya ditetapkan oleh Menteri dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15
Pekerjaan menjustir yang dapat dikerjakan dengan mudah dan tidak memerlukan banyak waktu, dan karenanya memungkinkan pegawai yang berhak menera atau menera ulang untuk melakukannya.

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Karena penggunaan alat-alat ukur takar, timbang dari perlengkapannya berada di bawah pengawasan instansi Pemerintah yang ditugasi mengurus hal-hal yang bertalian dengan metrologi maka seharusnyalah pembuatan alat-alat tersebut dengan izin instansi yang bersangkutan supaya mudah mengawasi dan membina, sehingga alat-alat itu dibuat oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian. Demikian pula untuk memperbaiki alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya misalnya memperbaiki timbangan perlu mendapat izin, yaitu supaya mudah mengawasi dan membimbingnya.
Dengan demikian diharapkan bahwa pekerjaan memperbaiki timbangan dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar mempunyai keahlian dalam bidang itu dan dengan rasa penuh tanggungjawab, sehingga para pemilik timbangan tidak akan terperdaya oleh orang-orang yang mengaku sebagai reparatir timbangan padahal tidak mempunyai keahlian dalam pekerjaan tersebut dan hanya semata-mata mencari keuntungan untuk dirinya saja. diri saja.

Pasal 18
Izin impor diperlukan untuk menghindari masuk dan beredarnya alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang tidak memenuhi persyaratan, sebab jika ini terjadi akan menyulitkan dalam melaksanakan Undang-undang ini.

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Maksud pemberian tanda sah itu ialah untuk menunjukkan bahwa alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya telah memenuhi persyaratan yang diatur berdasarkan Pasal 12 Undang-undang ini.
Ayat (2)
Maksud pemberian tanda batal itu ialah untuk menunjukkan bahwa alat-alat ukur, takar, timbang atau perlengkapannya tidak memenuhi persyaratan yang diatur berdasarkan Pasal 12 Undang-undang ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Selaras dengan pesatnya kemajuan produksi dan perdagangan, maka barang-barang dagangan dalam keadaan terbungkus mempunyai peranan dan merupakan suatu usaha untuk memudahkan penjualan dan transpor barang dalam penjualannya. Oleh karena itu perlu adanya suatu peraturan yang menentukan keharusan menyatakan ukuran, berat bersih, isi bersih atau jumlah yang sebenarnya bagi barang-barang yang dijual dalam bungkusan.
Yang dimaksud barang, di sini tidak termasuk makanan atau barang lain yang mudah basi atau tidak tahan lebih lama dari 7 (tujuh) hari. Bila suatu barang dijual berdasarkan ukuran berat atau isi dimasukkan. dalam bungkusan, akan memberikan kesulitan bagi pembeli untuk mengetahui secara pasti ukuran, berat, isi bersih atau jumlah dalam bungkusan, karena tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain daripada membuka bungkusan atau akan menerima begitu saja tentang isinya.
Ukuran besarnya bungkusan tidak selalu memberikan anggapan yang benar tentang ukuran, berat bersih, isi bersih atau jumlahnya. Tanpa memberitahukan atau menonjolkan ukuran, berat bersih, isi bersih atau jumlah akan menimbulkan keragu-raguan bagi pemakai barang (konsumen) dalam membeli barang-barang dalam keadaan terbungkus.
Oleh karena itu sangat perlu atau diwajibkan pencantuman tentang ukuran, berat bersih, isi bersih atau.jumlah yang sebenarnya terhadap barang-barang yang dijual dalam keadaan terbungkus dengan jelas, terang serta mudah dibaca pada setiap bungkusan.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Pengawasan terhadap barang-barang dalam keadaan terbungkus dapat dilakukan melalui kewajiban bagi pengusaha untuk mencantumkan nama dan tempat perusahaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 24
Seringkali terdapat bermacam-macam ukuran bungkusan dari kuanta barang yang sama banyaknya, sehingga akan membingungkan pembeli dalam memilih harga yang lebih ekonomis. baginya terhadap bungkusan yang berisi barang yang sama dan sama pula berat dan isi bersihnya. Untuk menghindari hal-hal yang demikian, maka diperlukan suatu pengaturan mengenai barang yang biasa digunakan umum agar pembungkusnya dalam ukuran yang seragam dan berat atau isi bersihnya yang sama Mungkin juga terdapat beberapa barang dagangan yang dibungkus akan berubah berat atau isinya, karena berkurangnya kelembaban atau disebabkan perubahan lain sejak pembungkusan sampai terjual.
Dalam hal ini maka perlu diperhitungkan berapa.jumlah kemungkinan berkurang/berubah bagi tiap macam barang dagangan. Dalam peraturan harus dinyatakan batas kekurangan berat atau isi bersih yang diakibatkan oleh perubahan tersebut tadi.
Dengan demikian keharusan mencantumkan berat atau isi bersih pada waktu pembungkusan barang dagangan tidak akan merugikan perusahaan pembungkus ataupun pemakai barang dilihat dari sudut keuangan maupun susutnya barang.
Supaya dapat memudahkan penaksiran harga atau membandingkan harga, maka perlu disarankan bahwa pembungkusan barang-barang ditetapkan dalam kuanta 1 x 10n, 2 x10n, atau 5 x10n (n = bilangan bulat) misalnya 100 ml, 500 g, 50 m dan sebagainya.

Pasal 25
Maksud adanya larangan ini ialah untuk melindungi agar tidak ada pihak yang dirugikan akibat dari pemakaian alat-alat ukur, takar, timbang atau perlengkapannya yang tidak memenuhi kebenaran, kepekaan dan ketepatan penunjukannya.

Pasal 26
Tujuannya adalah untuk melindungi pembeli, penyewa atau pemakai agar tidak mendapatkan atau memperoleh alat-alat ukur, takar timbang dan atau perlengkapannya yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 27
Pemasangan alat-alat baru atau tambahan pada alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang sudah ditera atau sudah ditera ulang akan mempengaruhi keasliannya dan juga memungkinkan adanya penyimpangan-penyimpangan dari syarat-syarat teknis. Berhubung dengan adanya penambahan ini, maka alat tersebut diperlakukan sebagai tidak ditera atau tidak ditera ulang.

Pasal 28
Sifat dan kemampuan untuk dapat memberikan pelayanan yang benar dan dalam batas-batas kesalahan yang diizinkan terhadap penggunaan alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya perlu ditaati, agar dalam pemakaian tidak merugikan pemakai atau pihak yang dilayani oleh alat tersebut.

Pasal 29
Ayat (1)
Larangan tersebut dimaksud agar benar-benar ditaati maksud dari Undang-undang ini dalam usahanya mencapai keseragaman penulisan dan penyebutan satuan dan lambang satuan ukuran yang berdasarkan Satuan Sistem Internasional.
Ayat (2)
Dapat dipahami bahwa terhadap benda-benda tak bergerak yang terletak di luar wilayah Republik Indonesia atau benda-benda yang bergerak yang dikirim ke luar wilayah Republik Indonesia dalam penulisan dan penyebutan satuan dan lambang satuan ukurannya dikecualikan dari larangan ini.
Ayat (3)
Dimaksud untuk mencegah persaingan tidak jujur antara produsen luar negeri dan produsen dalam negeri mengenai ukuran. Demikian juga untuk melindungi konsumen agar dapat memilih kebutuhannya secara ekonomis.

Pasal 30
Dapat dimaklumi bahwa para pemakai barang (konsumen) menghendaki untuk mendapatkan barang dalam ukuran, isi, berat atau jumlah yang tepat.

Pasal 31
Pasal ini dimaksud untuk mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak sehat atau tidak jujur dari para pembuat, pembungkus dan atau pengedar barang untuk mengambil keuntungan dari ukuran, isi, berat atau jumlah yang diserahkan/dijual.

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Tujuan dari Pasal ini ialah untuk memudahkan dilakukannya penuntutan bila terjadi suatu pelanggaran terhadap Undang-undang ini yang dilakukan, oleh suatu badan hukum, perseroan, persekutuan/perkumpulan orang-orang atau yayasan.

Pasal 35
Alat-alat ukur, takar, timbang atau perlengkapannya yang atas keputusan Pengadilan dinyatakan tidak dirampas, bukanlah berarti bahwa alat tersebut boleh dipakai lagi atau tidak melanggar lagi tanpa ditera/tera ulang. Berhubung dengan itu dan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, maka alat itu harus ditera/tera ulangkan atas biaya pemiliknya.

Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan pegawai yang melakukan pengawasan dan penyidikan adalah pegawai yang diberi tugas secara tertulis oleh atasannya.
Ayat (2)
Pengawasan tentang ditaatinya Undang-undang ini, agar dapat diikutsertakan juga pegawai instansi-instansi yang ada hubungannya dengan pengawasan hasil-hasil pengukuran, penakaran dan atau penimbangan dalam bidangnya masing-masing.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 37
Alat-alat ukur, takar, timbang dan perlengkapannya yang wajib tera berdasarkan Ijkordonnantie 1949 Staatsblad Nomor 175 (Undang-undang Metrologi terdahulu) masih boleh dipakai sepanjang masih memenuhi syarat-syarat seperti yang ditentukan berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 38
Pasal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum.

Pasal 39
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

ke atas

(c)2010 Ditjen PP :: www.djpp.depkumham.go.id || www.djpp.info || Kembali